Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Al-Imam Az Zarqaani rahimahullah berkata:
وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا، حَتىَّ دَلاَلَيْهَا وَقَصَّتَهَا. وَأَمَّا الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ ظَاهِرُهُمَا وَبَاطِنُهُمَا، فَلَهُ رُؤْيَتُهُمَا مَكْشُوْفَيْنِ وَلَوْ شَابَّةً بِلاَ عُذْرٍ مِنْ شَهَادَةٍ أَوْ طِبٍّ، إِلاَّ لِخَوْفِ فِتْنَةٍ أَوْ قَصْدِ لَذَّةٍ فَيَحْرُمُ، كَنَظَرٍ لِأَمْرَدَ، كَمَا لِلْفَاكِهَانِيْ وَالْقَلَشَانِيْ
“Aurat wanita merdeka bersamaan dengan laki-laki asing (bukan mahram) muslim adalah selain wajah dan dua tapak tangan dari keseluruhan tubuhnya, hingga (sekalipun) kegenitan (kemanjaan) dan potongan rambutnya. Adapun wajah dan dua tapak tangan, bagian punggung dan perut kedua (tapak tangan)nya, maka boleh baginya (laki-laki) untuk melihat keduanya dalam keadaan tersingkap sekalipun wanita tersebut masih muda tanpa udzur berupa persaksian ataupun pengobatan. Kecuali karena dikhawatirkan fitnah, atau bertujuan untuk menikmatinya, maka saat itu melihatnya menjadi haram, sebagaimana melihat kepada laki-laki amrad. Sebagaimana (pendapat) milik Al-Faakihaani dan Al-Qalsyaani.” ([1])
Ibnul Arabi rahimahullah berkata:
وَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ، بَدَنُهَا، وَصَوْتُهَا، فَلاَ يَجُوْزُ كَشْفُ ذَلِكَ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ، أَوْ لِحَاجَةٍ، كَالشَّهَادَةِ عَلَيْهَا، أَوْ دَاءٍ يَكُوْنُ بِبَدَنِهَا، أَوْ سُؤَالِهَا عَمَّا يَعنُّ وَيُعْرَضُ عِنْدَهَا
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Maka tidak boleh menampakkannya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau (pengobatan) penyakit yang ada pada badannya, atau menanyainya tentang perkara yang penting dan ditunjukkan disisinya. ” ([2])
Al Qurthubi rahimahullah berkata:
قَالَ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادٍ مِنْ عُلَمَائِنَا: إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً وَخِيفَ مِنْ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا الْفِتْنَةُ فَعَلَيْهَا سَتْرُ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَتْ عَجُوزًا أَوْ مُقَبَّحَةً جَازَ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا
“Ibnu Juwaiz Mandad dari kalangan ulama kami (madzhab maliki) berkata: ‘Sesungguhnya seorang wanita, jika dia adalah seorang wanita yang cantik, dan dikhawatirkan adanya fitnah dari wajah-dan dua tapak tangannya, maka wajib baginya untuk menutupinya. Dan jika dia adalah seorang wanita tua, atau dipandang buruk, maka boleh baginya untuk menyingkap wajah dan dua tapak tangannya.”([3])
Al Hathab rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ إنْ خُشِيَ مِنْ الْمَرْأَةِ الْفِتْنَةُ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ قَالَهُ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ وَنَقَلَهُ عَنْهُ الشَّيْخُ أَحْمَدُ زَرُّوق فِي شَرْحِ الرِّسَالَةِ وَهُوَ ظَاهِرُ التَّوْضِيحِ
“Dan ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah dari wanita, maka wajib bagi wanita tersebut untuk menutup wajah dan dua tapak tangan. Hal tersebut telah dikatakann oleh Al-Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan ia adalah pendapat yang nampak sekali jelasnya.” ([4])
Al Allamah Al Banaani rahimahullah, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وَهُوَ الَّذِيْ لِابْنِ مَرْزُوْقٍ فِيْ اغْتِنَامِ الْفُرْصَةِ قَائِلًا: إِنَّهُ مَشْهُوْرُ الْمَذْهَبِ، وَنَقَلَ الْحَطَابُ أَيْضًا الْوُجُوْبَ عَنِ الْقَاضِيْ عَبْدِ الْوَهَّابِ، أَوْ لاَ يَجِبُ عَلَيْهَا ذَلِكَ، وَإِنَّمَا عَلىَ الرَّجُلِ غَضُّ بَصَرِهِ، وَهُوَ مُقْتَضَى نَقْلِ مَوَّاقٍ عَنْ عِيَاضٍ. وَفَصَّلَ الشَّيْخُ زَرُّوْقٌ فِيْ شَرْحِ الْوَغْلِيْسِيَّةِ بَيْنَ الْجَمِيْلَةِ فَيَجِبُ عَلَيْهَا، وَغَيْرِهَا فَيُسْتَحَبُّ
“Ia adalah pendapat milik Ibnu Marzuuq di dalam (kitab) Ightnaamu al-Furshati, seraya berkata, ‘Sesungguhnya ia adalah pendapat madzhab yang masyhur. Al-Hathab juga menukil kewajibannya dari al-Qadhi ‘Abdul Wahhab, atau juga tidak wajib hal itu atasnya (wanita), dan yang wajib atas kaum laki-laki adalah menundukkan pandangan. Ia adalah kandungan penukilan Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah.”([5])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Syarh Mukhtashar Khalil, 176
([3]) Tafsir Al Qurthubi, 12/229
([5]) Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176