Hukum Menyingkap Wajah Muslimah Menurut Madzhab Hambali

 

Madzhab Hambali

 

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

 

كُلُّ شَيْءٍ مِنْهَا ــ أَيْ مِنَ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ ــ عَوْرَةٌ حَتىَّ الظُّفْرِ

 

“Segala sesuatu darinya –yaitu dari wanita merdeka- adalah aurat termasuk pula kukunya.”([1])

 

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari rahimahullah, penulis Raudhul Murbi’, berkata:

 

وَكُلُّ الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ عَوْرَةٌ حَتَّى ذَوَائِبِهَا، صَرَحَ بِهِ فِيْ الرِّعَايَةِ. اهـ إِلاَّ وَجْهَهَا فَلَيْسَ عَوْرَةً فِيْ الصَّلاَةِ. وَأَمَّا خَارِجَهَا فَكُلُّهَا عَوْرَةٌ حَتَّى وَجْهِهَا بِالنِّسْبَةِ إِلىَ

الرَّجُلِ وَالْخُنْثَىٰ وَبِالنِّسْبَةِ إِلَىٰ مِثْلِهَا عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلىَ الرُّكْبَةِ

“Seluruh wanita merdeka yang baligh adalah aurat hingga jalinan rambut kepalanya. Ia menerangkannya dengan jelas di dalam ar-Ri’aayah. Selesai. Kecuali wajahnya, maka wajahnya bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun diluar shalat, maka keseluruhan (tubuh wanita tersebut) adalah aurat hingga wajahnya dengan pengaitannya kepada laki-laki dan banci, sedang bila berkaitan dengan wanita semisalnya, maka auratnya adalah apa yang ada diantara pusar hingga lutut.”([2])

 

Ibnu Muflih rahimahullah berkata:

 

قَالَ أَحْمَدُ: وَلَا تُبْدِي زِينَتَهَا إلَّا لِمَنْ فِي الْآيَةِ، وَنَقَلَ أَبُو طَالِبٍ ظُفْرُهَا عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ فَلَا تُبَيِّنُ شَيْئًا، وَلَا خُفَّهَا فَإِنَّهُ يَصِفُ الْقَدَمَ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ تَجْعَلَ لِكُمِّهَا زِرًّا عِنْدَ يَدِهَا

 

“Imam Ahmad berkata: ‘(Maksud ayat tersebut adalah), janganlah ia (wanita) menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil: ‘Kuku wanita adalah aurat. Maka jika wanita keluar, maka ia tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu mensifati tapak kaki. Dan aku lebih suka wanita memasang kancing bagi lengan baju di tangannya.”([3])

 

Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti rahimahullah, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:

 

« وَهُمَا » أي: الْكَفَّانِ. « وَالْوَجْهُ » مِنَ الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ « عَوْرَةٌ خَارِجَهَا » أَيْ الصَّلاَةِ « بِاعْتِبَارِ النَّظَرِ كَبَقِيَّةِ بَدَنِهَا»

 

“[Dan keduanya], yaitu dua telapak tangan [dan wajah] dari wanita merdeka yang baligh [adalah aurat di luarnya] yaitu (di luar) shalat [karena sebab pandangan sebagaimana sisa anggota tubuhnya (yang lain).”([4])

 

Cadar Adalah Budaya Islam

 

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.

 

Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :

 

Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah ﷻ berfirman:

 

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

 

“Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu.” (QS. Al-Ahzaab: 33)

 

Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah ﷺ belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.

 

Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah ﷺ seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata:

 

مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

 

“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), maka merekapun mengambil sarung-sarung mereka, kemudian mereka merobeknya dari arah pinggir, kemudian mereka menyelimuti tubuh mereka dengannya.”([5])

 

Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.

 

Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

 

(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31

([2]) Raudhul Murbi’, 140

([3]) Al Furu’, 601-602

([4]) Kasyful Qanaa’, 309

([5]) HR. Bukhari 4759

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *