Hukum Menyingkap Aurat Pada Yang Bukan Mahram

Serial Maksiat Mata dari Syarah Sullamuttaufiq

Haram Bagi Wanita Menyingkap Aurat Pada Yang Bukan Mahram

Imam Nawawi al-Bantaniy berkata,

وَاتَّفَقَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ مَنْعِ النِّسَاءِ مِنَ الْخُرُوْجِ كَاشِفَاتِ الْوُجُوْهِ
‘Dan telah sepakat kaum muslimin atas pelarangan kaum wanita dari keluar (rumah) dalam keadaan menyingkap wajah-wajah (mereka).”([1])

Inilah perkataan dan pendapat al-Imam an-Nawawi V, tentang menutup wajah (memakai cadar) bagi kaum wanita, yang barangkali luput dari perhatian kebanyakan kaum muslimin madzhab Syafi’iy di Indonesia. Hingga kemudian wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi i serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.

Di dalam kitab Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, Al-Imam Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi al-Bantaniy (w. 1316 H) V berkata,

وَالْحُرَّةُ لَهَا أَرْبَعُ عَوْرَاتٍ إِحْدَاهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا ظَهْرًا وَبَطْنًا وَهُوَ عَوْرَتُهَا فِيْ الصَّلَاةِ فَيَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ ذَٰلِكَ فِيْ الصَّلَاةِ حَتَّىٰ الذِّرَاعَيْنِ وَالشَّعْرِ وَبَاطِنِ الْقَدَمَيْنِ ثَانِيَتُهَا مَا بَيْنَ سُرَّتِهَا وَرُكْبَتِهَا وَهِيَ عَوْرَتُهَا فِيْ الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الرِّجَالِ الْمَحَارِمِ وَعِنْدَ النِّسَاءِ الْمُؤْمِنَاتَ ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلَّا مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْكَافِرَاتِ رَابِعَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى قَلاَمَةِ ظُفْرِهَا وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَيَحْرُمُ عَلَىٰ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيّ النَّظَرُ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيَجِبُ عَلىَ الْمَرْأَةِ سَتْرُ ذَلِكَ عَنْهُ
“Dan wanita merdeka, dia memiliki empat aurat (1) salah satunya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tua tapak tangannya; punggung dan tapaknya, dan itu adalah auratnya di dalam shalat, maka wajib atasnya untuk menutup itu semua di dalam shalat, hingga dua lengan, rambut, serta dua tapak kaki, (2) keduanya adalah apa yang ada diantara pusar dan lututnya, dan itu adalah auratnya pada saat bersendirian, dan sisi laki-laki mahram, dan di sisi wanita mukminah, (3) yang ketiganya, adalah seluruh tubuhnya kecuali apa yang nampak pada pekerjaannya, dan itu adalah auratnya di sisi wanita kafir, (4) dan keempatnya adalah keseluruhan tubuhnya hingga potongan-potongan kukunya, dan itu adalah auratnya di sisi laki-laki asing (bukan mahram), maka haram atas laki-laki asing (bukan mahram) untuk melihat kepada sesuatu dari yang demikian, dan wajib atas seorang wanita untuk menutupi yang demikian darinya.”([2])

Beliau juga berkata pada halaman lain di kitab yang sama,

وَيُخْتَلَفُ بِذُكُوْرَةِ الْمَيِّتِ وَأَنُوْثَتِهِ فَالرَّجُلُ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَالْمَرْأَةُ حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً وَمِثْلُهَا الْخُنْثَى مَا يَسْتُرُ بَدَنَهَا غَيْرَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَوُجُوْبُ سَتْرُهُمَا فِيْ الْحَيَاةِ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ لَا لِكَوْنِهَا عَوْرَةً
“Dan diperselisihkan terhadap mayat laki-laki dan perempuan, maka laki-laki, (ditutupi dengan) apa yang menutupi apa yang ada diantara pusar dan lutut, dan wanita, baik merdeka ataupun budak, dan banci semisalnya (ditutupi dengan) apa yang menutupi badannya selain wajah dan dua tapak tangan. Dan kewajiban menutupi keduanya (wajah dan dua tapak tangan) dalam masa hidup adalah karena kekhawatiran fitnah, bukan karena keberadaannya sebagai aurat.”([3])

Demikian juga para imam lain dalam madzhab Syafi’iy berpendapat bahwa aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh.
Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi.
Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.

Al-Imam Asy Syarwani V berkata:

أَنَّ لَهَا ثَلَاثَ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجَانِبِ إلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَعَوْرَةٌ فِي الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الْمَحَارِمِ كَعَوْرَةِ الرَّجُلِ اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha.” ([4])

al-Imam Sa’id bin Muhammad Ba’Aliy Ba ‘Isyn ad-Dau’aniy ar-Ribathiy al-Hadhramiy as-Syafi’iy (w. 1270 H) V berkata,

لاَ مَنَافَاةَ بَيْنَ مَا قَدَّمْتُهُ مِنْ أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرَّةِ: جَمِيْعُ بَدَنِهَا، وَبَيْنَ مَا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ مِنْ أَنَّهَا عَوْرَةٌ حَتَّىٰ عِنْدَ الْأَجَانِبِ: مَا عَدَا الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْأَوَّلِ: مَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً، وَمِنَ الثَّانِيْ: مَا هُوَ عَوْرَةٌ حَقِيْقِيَّةٌ. وَعَلَيْهِ: فَيَجِبُ عَلَيْهِمَا سَتْرُهُمَا خَوْفَ الْفِتْنَةِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ.
“Tidak ada pertentangan antara apa yang telah kusebutkan bahwa aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, dengan apa yang telah disebutkan oleh penulis bahwa itu adalah aurat hingga di sisi laki-laki asing, selain wajah dan dua tapak tangan. Dikarenakan yang dimaksud dari yang pertama adalah apa yang diharamkan untuk melihatnya sekalipun bukan aurat, dan yang kedua, adalah aurat secara hakiki. Dan oleh karena itulah, wajib atas keduanya (wanita merdeka dan banci merdeka) untuk menutup keduanya (wajah dan tapak tangan) karena khawatir fitnah menurut pendapat yang mu’tamad. ([5])

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Romliy (w. 1004 H) V berkata,

وَلَوْ عَرَفَهَا الشَّاهِدُ فِي النِّقَابِ لَمْ يَحْتَجْ لِلْكَشْفِ فَعَلَيْهِ يَحْرُمُ الْكَشْفُ حِينَئِذٍ إذْ لَا حَاجَةَ إلَيْهِ، وَمَتَى خَشِيَ فِتْنَةً أَوْ شَهْوَةً لَمْ يَنْظُرْ إلَّا إنْ تَعَيَّنَ.
“Dan seandainya saksi telah mengenalnya di dalam niqab (cadar) maka dia tidak butuh menyingkap (cadar tersebut), maka atas dasar itu haram menyingkap (cadar tersebut) saat itu, karena tidak ada keperluan padanya, dan kapan saja dikhawatirkan fitnah, atau syahwat, maka tidak boleh melihat (wajah wanita) kecuali jika harus (sangat diperlukan untuk menyingkapnya.”([6])

Syaikh Sulaiman Al Jamal (w. 1204 H) V berkata:

(قَوْلُهُ غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ) … وَهَذِهِ عَوْرَتُهَا فِي الصَّلَاةِ، وَأَمَّا عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْمُسْلِمَاتِ مُطْلَقًا وَعِنْدَ الرِّجَالِ الْمَحَارِمِ فَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، وَأَمَّا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَجَمِيعُ الْبَدَنِ،
“Maksud perkataan An Nawawi V ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, … ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan.”([7])

Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi (w. 918 H) V, penulis Fathul Qaarib, berkata:

وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَهٰذِهِ عَوْرَتُهَا فِيْ الصَّلاَةِ، أَمَّا خَارِجَ الصَّلاَةِ فَعَوْرَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan.”([8])

Ibnu Qaasim Al Abadi (w. 992) V berkata:

فَيَجِبُ مَا سَتَرَ مِنْ الْأُنْثَى وَلَوْ رَقِيقَةً مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَوُجُوبُ سَتْرِهِمَا فِي الْحَيَاةِ لَيْسَ لِكَوْنِهِمَا عَوْرَةً بَلْ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ غَالِبًا
“Maka wajib apa yang menutup (aurat) dari wanita sekalipun dia adalah seorang budak wanita selain wajah dan dua tapak tangan, dan kewajiban menutupi keduanya (wajah dan tapak tangan) dalam keadaan hidup adalah bukan karena keberadaannya sebagai aurat, akan tetapi karena umumnya kekhawatiran menimbulkan fitnah.”([9])

Syamsuddin, Muhammad bin Ahmad al-Khathiib as-Syarbiiniy as-Syafi’iy (w. 977 H) V berkata,

وَيُكْرَهُ أَن يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ فِيهِ صُوْرَةٌ وَأَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ فِيْ مَكَانٍ وَهُنَاكَ أَجَانِبُ لَا يُحْتَرَزُوْنَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا فَلَا يَجُوْزُ لَهَا رَفْعُ النِّقَابِ
“Dan dimakruhkan shalat pada baju yang ada gambar padanya, dan (makruh) seorang laki-laki shalat dalam keadaan berselimut, dan (makruh) bagi wanita shalat dalam keadaan berniqab (bercadar), kecuali dia berada pada tempat yang disana terdapat laki-laki asing (bukan mahram) yang mereka tidak menjaga diri dari melihat kepadanya (wanita), maka tidak boleh baginya (wanita) untuk mengangkat (melepas) niqab (cadar)nya.”([10])

al-Imam Abu Bakar al-Bakri ‘Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyatiy as-Syafi’iy (w. 1310 H) V berkata,

وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِيْ ثَوْبٍ فِيْهِ صُوْرَةٌ أَوْ نَقْشٌ لِأَنَّهُ رُبَّمَا شَغَلَهُ عَنْ صَلاَتِهِ. وَأَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً، إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ بِحَضْرَةِ أَجْنَبِيٍّ لاَ يُحْتَرَزُ عَنْ نَظْرِهِ لَهَا فَلاَ يَجُوْزُ لَهَا رَفْعُ النِّقَابِ.
“Dan di makruhkan shalat pada baju ada gambar, atau pola padanya, dikarenakan barangkali hal itu akan menyibukkannya (menggangunya) di dalam shalatnya. Dan (dimakruhkan) seorang laki-laki shalat dalam keadaan berselimut, dan (dimakruhkan bagi) wanita (untuk shalat) dalam keadaan berniqab (bercadar) kecuali dia berada (pada tempat) dengan kehadiran laki-laki asing yang tidak menjaga diri pandangannya darinya (wanita), maka tidak boleh baginya (wanita) untuk mengangkat (melepas) niqab (cadarnya).” ([11])

Taqiyuddin Al Hushni (w. 829 H)  V, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:

وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِيْ ثَوْبٍ فِيْهِ صُوْرَةٌ وَتَمْثِيْلٌ، وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً إِلاَّ أْنْ تَكُوْنَ فِيْ مَسْجِدٍ وَهُنَاكَ أَجَانِبُ لاَ يُحْتَرَزُوْنَ عَنِ النَّظَرِ، فَإِنْ خِيْفَ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهَا مَا يَجُرُّ إِلَى الْفَسَادِ حَرُمَ عَلَيْهَا رَفْعُ النِّقَابِ
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar).”([12])

Al-Imam Abu Ishhaq Ibrahim bin ‘Aliy bin Yusuf as-Syairaziy (w. 976 H) V, berkata,

وَلاَ يَجُوْزُ سَتْرُ وَجْهِهَا فَإِنْ أَرَادَتْ السِّتْرَ عَنِ النَّاسِ سَدَلَتْ عَلَى وَجْهِهَا مَا يَسْتُرُهُ وَلاَ يَقَعُ عَلىَ الْبَشَرِ.
“Dan tidak boleh (bagi wanita berihram untuk) menutup wajahnya, dan jika dia ingin menutup (wajahnya) dari (pandangan) manusia, maka dia menutupkan pada wajahnya sesuatu yang menutupinya tanpa mengenai kulitnya.”([13])

Al-Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalliy (w.864 H) V, tatkala menafsirkan ayat ke- 59 dari surat al-Ahzab berkata,

{يأيها النَّبِيّ قُلْ لِأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبهنَّ} جَمْع جِلْبَاب وَهِيَ الْمُلَاءَة الَّتِي تَشْتَمِل بِهَا الْمَرْأَة أَيْ يُرْخِينَ بَعْضهَا عَلَى الْوُجُوه إذَا خَرَجْنَ لِحَاجَتِهِنَّ إلَّا عَيْنًا وَاحِدَة
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan wanita-wanita mukminah, agar mereka melabukan jilbab-jilbab mereka atas mereka…” bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju lebar yang mencakup (menutupi) keseluruhan (tubuh) wanita dengannya; yaitu mereka melabuhkan sebagiannya diatas wajah-wajah (mereka) jika mereka keluar untuk hajat-hajat mereka, kecuali satu mata (yang tidak ditutup).”([14])

Adapun al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 w) V, tatkala menafsirkan ayat ke-59 dari surat al-Ahzab maka beliau membawakan banyak atsar, diantaranya;

Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan atsar dari Ibnu ‘Abbas L tentang ayat ini, dia berkata,

أَمَرَ اللهُ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ فِيْ حَاجَةٍ أَنْ يُغَطِيْنَ وُجُوْهَهُنَّ مِنْ فَوْقِ رُؤُوْسِهِنَّ بِالْجَلاَبِيْبِ وَيُبْدِيْنَ عَيْنًا وَاحِدَةً
“Allah memerintahkan kepada wanita-wanita mukminah jika mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk sebuah hajat agar mereka menutupi wajah-wajah mereka dari atas kepala-kepala mereka dengan jilbab-jilbab dan mereka tampakkan satu mata.”

Al-Firyabiy, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin I, dia berkata,

سَأَلْتُ عُبَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ {يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ} فَرَفَعَ مِلْحَفَةً كَانَتْ عَلَيْهِ فَقَنَّعَ بِهَا وَغَطَّىٰ رَأْسَهُ كُلَّهُ حَتَّى بَلَغَ الْحَاجِبَيْنِ وَغَطَّىٰ وَجْهَهُ وَأَخْرَجَ عَيْنَهُ الْيُسْرَىٰ مِنْ شَقِّ وَجْهِهِ الْأَيْسَرِ مِمَّا يَلِي الْعَيْنِ
“Aku telah bertanya kepada ‘Ubaidah I tentang ayat ini, ‘agar mereka melabuhkan jilbab-jilbab mereka atas mereka…’ maka diapun mengangkat mantel / selimuat yang ada padanya lalu dia berselimut dengannya, dan menutupi kepalanya semuanya hingga mencapai dua alis mata, lalu menutupi wajahnya, dan mengeluarkan mata kirinya dari sebelah wajahnya yang kiri dari arah mata.”

Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin I, dia berkata,

سَأَلْتُ عُبَيْدًا السَّلْمَانِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ قَوْلِ اللهِ {يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ} فَتَقَنَّعَ بِمِلْحَفَةٍ فَغَطَّى رَأْسَهُ وَوَجْهَهُ وَأَخْرَجَ إِحْدَىٰ عَيْنَيْهِ
“Aku telah bertanya kepada ‘Ubaid as-Salmaniy I, tentang firman Allah I, ‘… agar mereka melabuhkan atas mereka jilbab-jilbab mereka atas mereka…’ maka diapun berselimut (menutupi seluruh tubuhnya) dengan mantel / selimut, lalu dia menutupi kepala, dan wajahnya, serta mengeluarkan salah satu diantara kedua matanya.”([15])

Adapun para imam 3 madzhab yang lain, maka berikut ini adalah sebagian dari perkataan mereka;

Madzhab Hanafi

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Al-Imam Asy Syaranbalali V berkata:

وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي الْأَصَحِّ، وَهُوَ الْمُخْتَارُ
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya, perut dan punggung kedua tapak tangannya menurut pendapat yang lebih shahih dan ia adalah pendapat yang terpilih.”([16])

Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin V berkata:

وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَقَدَمَيْهَا فِيْ رِوَايَةٍ، وَكَذَا صَوْتُهَا، وَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ عَلىَ الْأَشْبَهِ، وَإِنَّمَا يُؤَدِّيْ إِلىَ الْفِتْنَةِ، وَلِذَا تُمْنَعُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَالِ لِلْفِتْنَةِ
“Dan seluruh badan wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangannya, serta kedua tapak kakinya pada suatu riwayat. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Namun (semuan itu) cenderung menimbulkan fitnah, dan oleh karena itulah wanita dilarang menyingkap wajahnya diantara kaum laki-laki karena fitnah.”([17])

Al Allamah Al Hashkafi V berkata:

وَالْمَرْأَةُ كَالرَّجُلِ، لَكِنَّهَا تَكْشِفُ وَجْهَهَا لاَ رَأْسَهَا، وَلَوْ سَدَلَتْ شَيْئًا عَلَيْهِ وَجَافَتْهُ جَازَ، بَلْ يُنْدَبُ
“Aurat wanita (dalam shalat) itu seperti aurat lelaki. Namun ia (wanita) menyingap wajahnya, bukan kepalanya. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan([18])

Al Allamah Ibnu Abidin V (1252 H) berkata:

تُمنَعُ مِنَ الْكَشْفِ لِخَوْفِ أَنْ يَرَى الرِّجَالُ وَجْهَهَا فَتَقَعُ الْفِتْنَةُ، لِأَنَّهُ مَعَ الْكَشْفِ قَدْ يَقَعُ النَّظْرُ إِلَيْهَا بِشَهْوَةٍ
Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Dikarenakan kadang terjadi pandangan kepada wanita dengan syahwat bersamaan dengan penyingkapan wajah.([19])

Al Allamah Ibnu Najiim (970 H) V berkata:

قَالَ مَشَايِخُنَا: تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَالِ فِيْ زَمَانِنَا لِلْفِتْنَةِ
“Para guru kami berkata,  ‘Wanita muda dilarang dari menampakkan wajahnya di antara kaum lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” ([20])

Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?


Madzhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Al-Imam Az Zarqaani V berkata:

وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا، حَتىَّ دَلاَلَيْهَا وَقَصَّتَهَا. وَأَمَّا الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ ظَاهِرُهُمَا وَبَاطِنُهُمَا، فَلَهُ رُؤْيَتُهُمَا مَكْشُوْفَيْنِ وَلَوْ شَابَّةً بِلاَ عُذْرٍ مِنْ شَهَادَةٍ أَوْ طِبٍّ، إِلاَّ لِخَوْفِ فِتْنَةٍ أَوْ قَصْدِ لَذَّةٍ فَيَحْرُمُ، كَنَظَرٍ لِأَمْرَدَ، كَمَا لِلْفَاكِهَانِيْ وَالْقَلَشَانِيْ
“Aurat wanita merdeka bersamaan dengan laki-laki asing (bukan mahram) muslim adalah selain wajah dan dua tapak tangan dari keseluruhan tubuhnya, hingga (sekalipun) kegenitan (kemanjaan) dan potongan rambutnya. Adapun wajah dan dua tapak tangan, bagian punggung dan perut kedua (tapak tangan)nya, maka boleh baginya (laki-laki) untuk melihat keduanya dalam keadaan tersingkap sekalipun wanita tersebut masih muda tanpa udzur berupa persaksian ataupun pengobatan. Kecuali karena dikhawatirkan fitnah, atau bertujuan untuk menikmatinya, maka saat itu melihatnya menjadi haram, sebagaimana melihat kepada laki-laki amrad. Sebagaimana (pendapat) milik Al-Faakihaani dan Al-Qalsyaani.” ([21])

Ibnul Arabi V berkata:

وَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ، بَدَنُهَا، وَصَوْتُهَا، فَلاَ يَجُوْزُ كَشْفُ ذَلِكَ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ، أَوْ لِحَاجَةٍ، كَالشَّهَادَةِ عَلَيْهَا، أَوْ دَاءٍ يَكُوْنُ بِبَدَنِهَا، أَوْ سُؤَالِهَا عَمَّا يَعنُّ وَيُعْرَضُ عِنْدَهَا
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Maka tidak boleh menampakkannya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau (pengobatan) penyakit yang ada pada badannya, atau menanyainya tentang perkara yang penting dan ditunjukkan disisinya. ” ([22])

Al Qurthubi V berkata:

قَالَ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادٍ مِنْ عُلَمَائِنَا: إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً وَخِيفَ مِنْ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا الْفِتْنَةُ فَعَلَيْهَا سَتْرُ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَتْ عَجُوزًا أَوْ مُقَبَّحَةً جَازَ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا
“Ibnu Juwaiz Mandad dari kalangan ulama kami (madzhab maliki) berkata: ‘Sesungguhnya seorang wanita, jika dia adalah seorang wanita yang cantik, dan dikhawatirkan adanya fitnah dari wajah-dan dua tapak tangannya, maka wajib baginya untuk menutupinya. Dan jika dia adalah seorang wanita tua, atau dipandang buruk, maka boleh baginya untuk menyingkap wajah dan dua tapak tangannya.”([23])

Al Hathab V berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّهُ إنْ خُشِيَ مِنْ الْمَرْأَةِ الْفِتْنَةُ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ قَالَهُ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ وَنَقَلَهُ عَنْهُ الشَّيْخُ أَحْمَدُ زَرُّوق فِي شَرْحِ الرِّسَالَةِ وَهُوَ ظَاهِرُ التَّوْضِيحِ
“Dan ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah dari wanita, maka wajib bagi wanita tersebut untuk menutup wajah dan dua tapak tangan. Hal tersebut telah dikatakann oleh Al-Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan ia adalah pendapat yang nampak sekali jelasnya.” ([24])

 

Al Allamah Al Banaani V, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:

وَهُوَ الَّذِيْ لِابْنِ مَرْزُوْقٍ فِيْ اغْتِنَامِ الْفُرْصَةِ قَائِلًا: إِنَّهُ مَشْهُوْرُ الْمَذْهَبِ، وَنَقَلَ الْحَطَابُ أَيْضًا الْوُجُوْبَ عَنِ الْقَاضِيْ عَبْدِ الْوَهَّابِ، أَوْ لاَ يَجِبُ عَلَيْهَا ذَلِكَ، وَإِنَّمَا عَلىَ الرَّجُلِ غَضُّ بَصَرِهِ، وَهُوَ مُقْتَضَى نَقْلِ مَوَّاقٍ عَنْ عِيَاضٍ. وَفَصَّلَ الشَّيْخُ زَرُّوْقٌ فِيْ شَرْحِ الْوَغْلِيْسِيَّةِ بَيْنَ الْجَمِيْلَةِ فَيَجِبُ عَلَيْهَا، وَغَيْرِهَا فَيُسْتَحَبُّ
“Ia adalah pendapat milik Ibnu Marzuuq di dalam (kitab) Ightnaamu al-Furshati, seraya berkata, ‘Sesungguhnya ia adalah pendapat madzhab yang masyhur. Al-Hathab juga menukil kewajibannya dari al-Qadhi ‘Abdul Wahhab, atau juga tidak wajib hal itu atasnya (wanita), dan yang wajib atas kaum laki-laki adalah menundukkan pandangan. Ia adalah kandungan penukilan Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah.”([25])

 

Madzhab Hambali

Imam Ahmad bin Hambal V berkata:

كُلُّ شَيْءٍ مِنْهَا ــ أَيْ مِنَ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ ــ عَوْرَةٌ حَتىَّ الظُّفْرِ
“Segala sesuatu darinya –yaitu dari wanita merdeka- adalah aurat termasuk pula kukunya.”([26])

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari V, penulis Raudhul Murbi’, berkata:

وَكُلُّ الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ عَوْرَةٌ حَتَّى ذَوَائِبِهَا، صَرَحَ بِهِ فِيْ الرِّعَايَةِ. اهـ إِلاَّ وَجْهَهَا فَلَيْسَ عَوْرَةً فِيْ الصَّلاَةِ. وَأَمَّا خَارِجَهَا فَكُلُّهَا عَوْرَةٌ حَتَّى وَجْهِهَا بِالنِّسْبَةِ إِلىَ

الرَّجُلِ وَالْخُنْثَىٰ وَبِالنِّسْبَةِ إِلَىٰ مِثْلِهَا عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلىَ الرُّكْبَةِ
“Seluruh wanita merdeka yang baligh adalah aurat hingga jalinan rambut kepalanya. Ia menerangkannya dengan jelas di dalam ar-Ri’aayah. Selesai. Kecuali wajahnya, maka wajahnya bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun diluar shalat, maka keseluruhan (tubuh wanita tersebut) adalah aurat hingga wajahnya dengan pengaitannya kepada laki-laki dan banci, sedang bila berkaitan dengan wanita semisalnya, maka auratnya adalah apa yang ada diantara pusar hingga lutut.”([27])

Ibnu Muflih V berkata:

قَالَ أَحْمَدُ: وَلَا تُبْدِي زِينَتَهَا إلَّا لِمَنْ فِي الْآيَةِ، وَنَقَلَ أَبُو طَالِبٍ ظُفْرُهَا عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ فَلَا تُبَيِّنُ شَيْئًا، وَلَا خُفَّهَا فَإِنَّهُ يَصِفُ الْقَدَمَ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ تَجْعَلَ لِكُمِّهَا زِرًّا عِنْدَ يَدِهَا
“Imam Ahmad berkata: ‘(Maksud ayat tersebut adalah), janganlah ia (wanita) menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil: ‘Kuku wanita adalah aurat. Maka jika wanita keluar, maka ia tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu mensifati tapak kaki. Dan aku lebih suka wanita memasang kancing bagi lengan baju di tangannya.”([28])

Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti V, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:

« وَهُمَا » أي: الْكَفَّانِ. « وَالْوَجْهُ » مِنَ الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ « عَوْرَةٌ خَارِجَهَا » أَيْ الصَّلاَةِ « بِاعْتِبَارِ النَّظَرِ كَبَقِيَّةِ بَدَنِهَا»
“[Dan keduanya], yaitu dua telapak tangan [dan wajah] dari wanita merdeka yang baligh [adalah aurat di luarnya] yaitu (di luar) shalat [karena sebab pandangan sebagaimana sisa anggota tubuhnya (yang lain).”([29])

Cadar Adalah Budaya Islam

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.

Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :

Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah I berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
“Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu.” (QS. Al-Ahzaab: 33)

Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah i belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.

Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah i seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah J berkata:

مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), maka merekapun mengambil sarung-sarung mereka, kemudian mereka merobeknya dari arah pinggir, kemudian mereka menyelimuti tubuh mereka dengannya.”([30])

Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.

Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا كَشْفُ شَيْءٍ مِمَّا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ بِحَضْرَةِ مُطَّلِعٍ عَلىَ الْعَوْرَاتِ وَلَوْ مَعَ جِنْسٍ وَمَحْرَمِيَّةٍ غَيْرِ حَلِيْلٍ.
“Dan Haram atas laki-laki dan perempuan untuk menyingkap apa yang ada diantara pusar dan lutut dengan hadirnya orang yang mengerti aurat sekalipun bersama yang sejenis dan mahram selain yang halal (istri atau budak).”

(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamuttaufik, Muhammad Syahri)

___________________________

Footnote:

([1]) al-Mirqah, 66

([2]) Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, 47

([3]) Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, 151

([4]) Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112

([5]) Syarah al-Muqaddimah al-Hadhramiyah yang diberi nama Busyra al-Kariim bi Syarhi Masa’ili at-Ta’liim, 26

([6]) Nihaayatul Muhtaaj Ilaa Syarhil al-Minhaj, VI/198

([7]) Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411

([8]) Fathul Qaarib, 19

([9]) Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115

([10]) Al-Iqna` Fii Hilli Alfaazhi Abi Suja’ (I/124)

([11]) I’aanatut Thalibiin ‘Alaa Hilli al-Faazhi Fathil Mu’iin, Hasyiah ‘Alaa Fathil Mu’iin bi Syarhi Qurratul ‘Ain bi Muhimmati ad-Diin, 135

([12]) Kifaayatul Akhyaar, 181

([13]) at-Tanbiih fi al-Fiqhi as-Syafi’iy, 73

([14]) Tafsir al-Jalalain, ayat ke-59 dari surat al-Ahzab.

([15]) Ad-Durrul Mantsur, VI/659-661

([16]) Matan Nuurul Iidhah Wa Najaatul Arwaah fii al-Fiqh al-Hanafiy, al-Maktabah al-‘Ashriyah, (I/53)

([17]) Ad Durr Al Muntaqa, 81

([18]) Ad Durr Al Mukhtar, 2/189

([19]) Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189

([20]) Al Bahr Ar Raaiq, 284

([21]) Syarh Mukhtashar Khalil, 176

([22]) Ahkaamul Qur’an, 3/1579

([23]) Tafsir Al Qurthubi, 12/229

([24]) Mawahib Jaliil, 499

([25]) Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176

([26]) Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31

([27]) Raudhul Murbi’, 140

([28]) Al Furu’, 601-602

([29]) Kasyful Qanaa’, 309

([30]) HR. Bukhari 4759

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *