Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar L, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
[arabic-font]«مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا، أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»[/arabic-font]“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah([1]) di dunia, maka Allah akan mengenakan padanya baju kehinaan pada hari kiamat.”([2])
Yaitu mewajibkan kehinaannya pada hari kiamat sebagaimana dulu di dunia dia mengenakan baju yang dengannya dia merasa terhormat terhadap manusia, dan dengannya dia merasa tinggi diatas manusia.
Ibnu Ruslan berkata, ‘Dikarenakan dulu dia dunia mengenakan baju syuhrah untuk merasa terhormat dengannya, dan berbangga diri dengannya atas selainnya, maka pada hari kiamat Allah mengenakan padanya sebuah baju yang dia akan menjadi tersohor dengan kehinaan dan kerendahannya sebagai sebuah hukuman baginya, dan hukuman itu adalah dari jenis amal yang dilakukannya.
Dan masuk di dalam yang demikian adalah pakaian kesombongan yang pemakainya berlenggak-lenggok hingga pandangan-pandangan mata tertarik padanya, demikian juga pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur serta berwarna dengan warna warni yang menarik pandangan.
Al-Munawi berkata,
- ‘[Barangsiapa mengenakan baju syuhrah], yaitu baju takabbur (kesombongan), tafakhur (kebanggaan). Dan syuhrah adalah berbangga-bangga diri di dalam pakaian yang tinggi (harganya) atau yang terlalu murah (harganya).
- [Allah akan memakaikan padanya pada hari kiamat] yaitu negeri pembalasan dan penyingkapan segala tutupan.
- [Baju kehinaan], dan balasan adalah dari jenis amal. Maka barangsiapa memakai baju syuhrah (ketenaran) di dunia untuk berbangga diri dengannya terhadap selainnya, maka sesungguhnya Allah akan mengenakan padanya pada hari kiamat baju kehinaan, yang akan membuat kecil di mata-mata manusia, dan membuatnya rendah di dalam hati-hati manusia.
Terdapat riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan dari Ibnu ‘Umar L, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
[arabic-font]«مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ» «ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ»[/arabic-font]“Barangsiapa memakai baju syuhrah, maka pada hari kiamat, Allah akan memakaikannya baju yang semisalnya.” ‘Kemudian dinyalakan api di dalamnya.”([3])
Telah dihadapkan sebuah pertanyaan kepada Fadhilatussyaikh ‘Abdullah al-Fauzan, ‘Apa hukum mengenakan baju syuhrah?’
Jawab: ‘Tidak boleh bagi seorang wanita muslimah untuk memilih warna warninya baju yang dengannya selera menjadi ridha, dan tidak berkaitan dengan kebutuhan penting baju atau tidak berkaitan dengan bagus dan indahnya baju pada batasan-batasan yang mubah. Namun dia memakainya adalah untuk tujuan agar kaum laki-laki mengangkat pandangan-pandangan mereka kepadanya, dan menggoda pandangan-pandangan lapar tersebut.
Telah diriwayatkan hadits dari ‘Abdillah bin ‘Umar L, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا ، أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا
“Barangsiapa memakai baju syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan padanya baju kehinaan pada hari kiamat, kemudian Allah akan nyalakan api di dalamnya.”([4])
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (1) Akhthooun Nisa fi al-Libaas Wa az-Ziinah, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
Footnote:
([1]) As-Syuhrah, munculnya sesuatu, yang dimaksud adalah bahwa baju yang dipakainya menjadi tenar diantara manusia karena perbedaan warna bajunya dengan warna baju manusia, yang kemudian manusiapun mengangkat pandangan mereka kepadanya. Kemudian dia berlagak angkuh atas mereka dengan ujub dan sombong. (‘Aunul Ma’bud, IX, hal 53)-pent
([2]) HR. Ibnu Majah (3607), Abu Dawud (4029), Ahmad (5664), dihasankan oleh al-Albaniy dalam al-Mishkah (4346)(43), lihat juga Shahih at-Targhiib wa at-Tarhiib (2089), dan al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaaniid (6/73)-pent
([3]) HR. Abu Dawud (4029), dihasankan oleh Syaikh al-Arnauth dan Syaikh al-Albaniy di dalam as-Shahiihah (6526)-pent
([4]) HR. Ibnu Majah (3607), Abu Dawud (4029), Ahmad (5664), lihat Shahih at-Targhiib wa at-Tarhiib (2089), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaaniid (13/332)-pent