5. Jima’
Diharamkan atas suaminya untuk menggaulinya, dan juga diharamkan baginya untuk membolehkannya.
Berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ ٱلمَحِيضِ قُل هُوَ أَذًى فَاعتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلمَحِيضِ وَلَا تَقرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطهُرنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. al-Baqarah: 222)
6. Talaq
Diharamkan atas seorang suami untuk menceraikan istrinya yang haidh saat haidhnya. Maka talaqnya wanita yang haidh saat haidhnya adalah haram dan dianggap bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Begitupula talaq dalam masa suci yang suami sudah menyetubuhinya didalamnya tidak diperbolehkan.
Adapun talaq yang sunnah adalah menalaq istri yang dalam keadaan hamil atau dalam keadaan suci tanpa bersetubuh dengan satu talaq. Haramnya menalaq wanita yang sedang haidh dikecualikan pada tiga masalah:
- Jika talaq tersebut sebelum berduaan dengannya atau belum menyentuhnya maka tidak mengapa menalaqnya sedang dia dalam keadaan haidh, karena tidak ada masa ‘iddah atasnya saat itu.
- Jika haidh itu berada pada keadaan hamil, karena sesungguhnya iddah itu terputus dengan melahirkan, maka talaqnya saat itu adalah talaq sunnah bukan talaq bid’ah.
- Jika talaq itu adalah talaq untuk selamanya (talaq tiga) maka tidak mengapa menalaqnya saat dia haidh.
7. Perhitungan ‘iddah talaq itu dengan haidh.
Maka jika seorang laki-laki menalaq istrinya setelah dia menyentuhnya atau berduaan denganya, wajib atas istri ini untuk beriddah selama tiga kali haidh sempurna jika dia termasuk wanita yang haidh, dan tidak hamil.
Berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَٱلمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Maka jika dia hamil maka masa iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya, sama saja panjang atau pendek masa kehamilannya.
Berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَأُوْلَٰتُ ٱلأَحمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعنَ حَملَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaq: 4)
Dan jika dia termasuk wanita yang tidak haidh seperti wanita yang masih kecil, atau sudah tua yang sudah berhenti dari haidh maka masa iddahnya adalah tiga bulan.
Berdasarkan firman Allah ﷻ:
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسنَ مِنَ ٱلمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُم إِنِ ٱرتَبتُم فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشهُر
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan.” (QS. At-Thalaq: 4)
8. Wajibnya mandi
Maka wajib atas wanita yang haidh jika dia telah suci untuk mandi, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada Fathimah binti Hubaisy:
« فَإِذَا اَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فاَغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ »
“Maka apabila haidh datang maka tinggalkanlah shalat dan jika telah berlalu maka mandilah dan shalatlah.”([1])
Dan jika wanita yang haidh telah suci setelah masuk waktu shalat, maka wajib atasnya untuk bersegera mandi kemudian shalat. Maka jika dalam perjalanan dan dia tidak memiliki air, atau jika dia memiliki air tapi takut bahaya jika menggunakannya, atau jika dia sakit dimana air itu membahayakannya, maka dia tayammum sebagai ganti mandi sehingga hilang penghalangnya kemudian mandi.
[…](bersambung)[…]
(Diambil dari kitab Mas-uuliyaatul Mar-ah al-Muslimah, Syaikh DR. Abdullah bin Jarullah al-Jaarullah, di alih bahasakan oleh Muhammad Syahri)
______________________________
Footnote: