Hukum Hukum Haidh (1)

 

Hukum-Hukum Haidh([1])

 

Haidh memiliki hukum-hukum yang sangat banyak, kami akan menyebutkan diantaranya yang paling banyak dibutuhkan, yaitu:

 

1. Shalat

 

Maka diharamkan bagi seorang wanita yang sedang haidh untuk shalat yang wajib maupun yang sunnah dan tidak sah shalatnya (jika dia shalat). Dan begitupula tidak wajib baginya shalat kecuali jika dia mendapatkan waktu shalat itu dengan ukuran satu rakaat sempurna, maka saat itulah dia wajib shalat, sama saja dia mendapatkannya diawal waktu atau diakhir waktu shalat.

 

Contoh diawal waktu: seorang wanita haidh setelah terbenamnya matahari dengan ukuran satu rakaat, maka wajib baginya jika dia telah suci untuk mengqadha shalat maghrib, dikarenakan dia telah mendapatkan waktunya seukuran satu rakaat sebelum dia haidh.

 

Contoh diakhir waktu: Seorang wanita suci dari haidh sebelum terbitnya matahari dengan ukuran satu rakaat, maka wajib atasnya jika suci untuk mengqadha shalat fajar (subuh) dikarenakan dia telah mendapatkan waktunya, beberapa bagian yang memungkinkan shalat satu rakaat.

 

Adapun jika seorang wanita yang haidh mendapatkan bagian waktu yang tidak cukup dilakukan shalat satu rakaat dengan sempurna; misal seorang wanita haidh pada contoh pertama setelah terbenamnya matahari sesaat atau suci seperti contoh kedua sesaat sebelum terbitnya matahari, maka shalat yang tertinggal itu tidak wajib atasnya. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

 

« مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ »

 

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat.”([2])

 

Maka sesungguhnya pemahamannya bahwasannya siapa yang mendapatkan waktu kurang dari satu rakaat maka dia tidak mendapatkan shalat.

 

Dan jika dia mendapatkan satu rakaat dari shalat ashar apakah wajib baginya untuk shalat dzuhur bersama ashar ?

 

Dan satu rakaat dari waktu akhir shalat isya’ apakah dia wajib shalat maghrib bersama isya ?

 

Dalam masalah ini terdapat khilaf diantara para ulama. Dan yang benar adalah bahwa tidak wajib atasnya kecuali apa yang dia dapatkan dari waktu shalat tersebut. Yaitu ashar dan isya’ yang akhir saja.

 

Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

 

« مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ »

 

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari waktu ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia telah mendapatkan ashar.”([3])

 

Dan Rasulullah ﷺ tidak mengatakan: “Maka dia telah mendapatkan ashar dan dzuhur dan tidak menyebutkan wajibnya dzuhur atasnya. Dan hukum asal adalah terlepas dari tanggungan.

Bolehkah wanita yang haidh membaca al-Qur`an ?

 

Didalamnya terdapat khilaf diantara para ulama, dan hendaknya yang dikatakan kepada wanita haidh: yang lebih baik adalah agar dia tidak membaca al-Qur`an dengan lisannya kecuali saat ada keperluan untuk membacanya, seperti jika dia adalah seorang pengajar yang butuh mendekte kepada murid-muridnya atau dalam masa ujian, sehingga seorang pelajar butuh membaca al-Qur`an untuk ujiannya dan semisal dengan itu.

 

Maka jika membaca itu hanya dengan melihat dengan mata atau merenungkannya dengan hati tanpa mengucapkannya dengan lisan maka tidaklah mengapa hal tersebut.

2. Puasa

 

Diharamkan bagi wanita yang haidh untuk berpuasa yang wajib maupun yang sunnah, dan tidak sah puasa mereka (jika berpuasa). Akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha puasa wajibnya.

 

Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata:

 

« كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تَعْنِى الحَيْض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ »

 

“Hal itu telah menimpa kami -yaitu haidh- maka kami diperintahkan untuk mengqadha` puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha` shalat.”([4])

 

Maka tatkala dia haidh sedang dia dalam keadaan berpuasa maka batallah puasanya sekalipun sesaat sebelum maghrib, dan wajib baginya untuk mengqadha hari itu jika puasanya adalah puasa wajib.

 

Adapun jika dia merasakan adanya perubahan haidh sebelum tenggelamnya matahari akan tetapi belum keluar darah kecuali setelah maghrib maka puasanya sempurna sebagaimana wudhu yang tidak batal kecuali dengan keluarnya hadats.

 

Dan jika matahari terbit dan dia sedang haidh maka tidak sah puasanya pada hari itu sekalipun suci beberapa saat setelah fajar. Dan jika dia suci beberapa saat mendekati fajar kemudian dia berpuasa maka sah puasanya sekalipun dia belum mandi kecuali setelah fajar seperti orang yang junub jika dia berniat puasa sedang dia dalam keadaan junub dan tidak mandi kecuali setelah terbitnya fajar maka puasanya sah.

3. Thawaf di Ka’bah

 

Diharamkan baginya thawaf di Ka’bah, thawaf wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya (jika di thawaf).

 

Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ kepada Aisyah radhiyallaahu ‘anha tatkala dia ihram dalam keadaan haidh:

 

« اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِىْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِىْ »

 

“Kerjakanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji, selain thawaf di Ka’bah sehingga kamu suci.”([5])

 

Adapun manasik haji dan umrah yang lain dia mengerjakannya sedang dia dalam keadaan haidh. Maka berdasarkan hal ini, jika seorang wanita thawaf dalam keadaan suci kemudian langsung keluar darah hadihnya setelah thawaf, atau ditengah-tengah sa’i maka tidak apa-apa dalam masalah tersebut.

 

Dan gugur dari wanita yang haidh thawaf wada’, adapun thawaf haji dan umrah maka tidak gugur, akan tetapi thawaf saat dia suci.

4. Berdiam diri di masjid

 

Diharamkan bagi wanita yang haidh untuk berdiam diri di masjid, bahkan mushalllah ied (lapangan tenpat shalat ied) diharamkan baginya untuk berdiam didalamnya.

 

Berdasarkan sebuah riwayat dari sebuah hadits shahih:

 

« وَيَعْتَزِلَ الْحَيْضُ الْمُصَلىَّ »

 

“Dan wanita yang haidh menjauhi tempat shalat.”([6])

 

[…](bersambung)[…]

(Diambil dari kitab Mas-uuliyaatul Mar-ah al-Muslimah, Syaikh DR. Abdullah bin Jarullah al-Jaarullah, di alih bahasakan oleh Muhammad Syahri)

______________________________

Footnote:

([1]) Dari Risalatud Dima’ith Thabi’iyah lin Nisa` dengan secara ringkas, Syaikh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin.

([2]) HR. Bukhari Muslim

([3]) HR. Bukhari Muslim

([4]) HR. Bukhari Muslim

([5]) HR. Bukhari Muslim

([6]) HR. Bukhari Muslim

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *