Hadits Lemah Tentang Fadhilah al-Quran: Al-Qur’an Bekal Paling Utama Menghadap Alloh

Oleh: al-Ustadz Muslim al-Atsariy hafizhahullahu

 

HADITS JUBAIR BIN NUFAIR radhiyallaahu ‘anhu

 

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّكُمْ لَنْ تَرْجِعُوا إِلَى اللهِ بِأَفْضَلَ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ» يَعْنِي القُرْآنَ

 

Dari Jubair bin Nufair, dia berkata:  Nabi ﷺ bersabda: “Sesunggguhnya kamu tidak akan kembali kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebih utama dari membawa apa yang keluar dari-Nya, yakni Al-Qur’an”.

 

KETERANGAN

 

Hadits ini diriwayatkan oleh:

  1. Tirmidzi, no. 2912;
  2. Abu Dawud di dalam Al-Marosil (haditshadits mursal), no. 538;
  3. Abu Nu’aim di dalam Hilyatul Auliya’, 9/217;
  4. Ibnu Baththoh di dalam Al-Ibanatul Kubro, 5/234, no. 11;
  5. Ath-Thobaroniy di dalam Al-Mu’jamul Kabir, no. 1614;

 

Semua dari jalur Abdurrohman bin Mahdiy, dari Mu’awiyah bin Sholih, dari Al-’Ala’ bin Al-Harits, dari Zaid bin Arthoh, dari Jubair bin Nufair, dari Nabi ﷺ.

 

DERAJAT HADITS

 

Hadits ini lemah dengan beberapa sebab:

 

1- Hadits mursal

Jubair bin Nufair seorang tabi’iy tsiqoh (terpercaya), meriwayatkan dari Nabi ﷺ, padahal tidak pernah bertemu.

Imam Al-Bukhori rahimahullaah berkata: “Tidak shohih, sebab mursal-nya dan terputus-nya”.([1])

 

2- Al-’Ala’ bin Al-Harits bin Abdul Warits Al-Hadhromiy

Dia perowi yang tsiqoh (terpercaya), namun ikhtilath (berubah ingatan) di akhir umurnya.

Ibnu Sa’ad rahimahullaah berkata: “Dia perowi yang sedikit haditsnya, tetapi paling berilmu dan paling diutamakan di antara murud-murid Mak-huul, dia berfatwa sampai ikhtilath (berubah ingatan)”.([2])

Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullaah berkata: “Ini sanadnya mursal, para perowinya terpercaya, tetapi Al-’Ala’ bin Al-Harits ikhtilath (berubah ingatan) di akhir umurnya”.([3])

Syaikh Al-Albani rahimahullaah berkata: “Ini bersamaan dengan (cacat) mursal-nya, padanya terdapat perowi Al-’Ala’ bin Al-Harits, dia telah ikhtilath (berubah ingatan di akhir umurnya)”.([4])

 

3- Zaid bin Arthoh.

Dia perowi yang tsiqoh (terpercaya), namun di dalam hadits ini mudh-thorib (bergoncang).

Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullaah berkata: “Kemudian hadits ini idh-thirob  (goncang) pada perowi Zaid bin Arthoh, sebagaimana akan datang”.([5])

Kemudian beliau menjelaskan di dalam cacatan kaki tersebut.

 

TAMBAHAN:

 

Hadits ini juga diriwayatkan dari tiga sahabat, namun semuanya lemah dan tidak bisa saling menguatkan, sebab sumber periwayatan hanya satu, yaitu Zaid bin Arthoh, dan dia idh-thirob (goncang) dalam periwayatan hadits ini.

 

Tiga sahabat itu adalah:

 

1- Hadits Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu

Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrok, no. 2039 dan Al-Baihaqi di dalam Al-Asma’ was Shifat, no. 503.

Dari jalur Salamah bin Syabib, dari Ahmad bin Hanbal, dari Abdurrohman bin Mahdiy, dari Mu’awiyah bin Sholih, dari Al-’Ala’ bin Al-Harits, dari Zaid bin Arthoh, dari Jubair bin Nufair, dari Abu Dzarr, dari Rosuulloh ﷺ.

Tetapi sanadnya juga lemah.

Syaikh Al-Albani rahimahullaah berkata: “Ini jika sanadnya shohih sampai Salamah bin Syabib, cacatnya pada perowi Al-’Ala’ bin Al-Harits saja (dia telah berubah ingatan di akhir umurnya), Wallohu a’lam”.([6])

 

2- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhaniy radhiyallaahu ‘anhu

 

Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrok, no. 3651.

 

Dari jalur Abdulloh bin Sholih, dari Mu’awiyah bin Sholih, dari Al-’Ala’ bin Al-Harits, dari Zaid bin Arthoh, dari Jubair bin Nufair, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dari Rosuulloh ﷺ.

 

Setelah meriwayatkan ini, Imam Al-Hakim berkata: “Ini hadits yang shohih, namun keduanya (Imam Bukhori dan Muslim) tidak meriwayatkannya”.

 

Imam Adz-Dzahabiy rahimahullaah juga menyatakan shohih.

 

Tetapi pernyataan shohih tersebut dibantah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah, beliau berkata: “Padahal di dalam sanadnya terdapat Abdulloh bin Sholih, padanya terdapat kelemahan, sehingga dia tidak dipakai hujjah jika menyendiri, maka bagaimana jika dia menyelisihi (perowi lain)? Kemudian bagaimana jika (perowi lain) yang diselisihi itu seorang al-hafizh ats-tsiqoh (ahli hadits yang sangat terpercaya), yaitu Ibnu Mahdiy? Dan dia ini (Ibnu Mahdiy) telah meriwayatkan dengan mursal, sebagaimana engkau telah melihatnya. Maka bagaimana dianggap shohih?

 

Apalagi sumber riwayat maushul (bersambung) dan mursal (terputus) pada Al-‘Ala’, dan engkau telah mengetahui keadaannya.

 

Dan Imam Al-Bukhori berkata di dalam Kholq Af’alil ‘Ibad, hlm. 91: “Tidak shohih, sebab mursal-nya dan terputus-nya”.([7])

 

3- Hadits Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu

 

Yaitu dengan lafazh:

 

«… وَمَا تَقَرَّبَ العِبَادُ إِلَى اللهِ بِمِثْلِ مَا خَرَجَ مِنْهُ»

 

“…Tidaklah para hamba mendekatkan diri kepada Allah dengan semisal apa yang keluar dari-Nya”.

 

Diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2911; Ahmad, no. 22306; dan Ibnu Nashr di dalam Mukhtashor Qiyamil Lail, hlm. 172.

 

Dari jalur Bakr bin Khunais, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Zaid bin Arthoh, dari Abu Umamah, dari Nabi ﷺ.

 

Sanad ini juga lemah.

 

Setelah meriwayatkan hadits ini Imam Tirmidzi berkata: “Ini hadits Ghorib (hanya satu jalur), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Sedangkan Bakr bin Khunais telah dibicarakan oleh Ibnul Mubarok, dan beliau meninggalkannya di akhir urusannya. Dan hadits ini telah diriwayatkan dari jalur dari Zaid bin Arthoh, dari Jubair bin Nufair, dari Nabi ﷺ, mursal (yaitu tanpa disebutkan sahabat)”.([8])

 

Syaikh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullaah berkata: “Sanadnya lemah, sebab kelemahan Bakr bin Khunais dan Laits bin Abi Sulaim, dan sebab terputus. Karena Zaid bin Arthoh Al-Fazariy Ad-Dimasyqiy, haditsnya dari Abu Umamah mursal,  sebagaimana telah dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarh wat Ta’dil dan oleh Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq, 3/lembaran 532. Kemudian hadits ini idh-thirob  (goncang) pada perowi Zaid bin Arthoh, sebagaimana akan datang”.([9])

 

PERINGATAN:

 

Hadits Jubair bin Nufair ini pernah dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Ash-Shohihah, no. 961, lalu beliau meralat pendapatnya ini dan menjelaskan dho’ifnya di dalam Silsilah Adh-Dho’ifah, no. 1834.

 

Beliau berkata: “Ini, dan dahulu aku telah lalai dari cacat ini, lalu aku memasukkan hadits ini di dalam Ash-Shohihah, no. 961, dan aku telah mentakhrij hadits ini di sana dengan semacam yang ada di sini([10]), dengan tanpa ingat cacat tersebut. Maka barangsiapa mendapatinya([11]) hendaklah dia menyalahkannya. Wahai Robb kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau kami keliru”.([12])

 

Ini menunjukkan bahwa Syaikh Al-Albani rahimahullaah adalah seorang ‘alim yang jujur, selalu belajar, dan siap meninggalkan kesalahan jika telah jelas baginya. Memang tidak ada orang yang ma’shum di kalangan umat ini kecuali Nabi-nya. Mengakui kesalahan dan meninggalkannya untuk menuju kebenaran tidak mengurangi derajat beliau, bahkan mengangkat derajat beliau. Wallohul Musta’an.([13])

________________________

Footnote:

([1]) Kholq af’alil ‘Ibad, hlm. 91

([2]) Tahdzibut Tahdzib, 8/177, no. 319

([3]) Catatan kaki Musnad Ahmad, 36/645, pada penjelasan hadits no. 22306

([4]) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah, 4/426, pada penjelasan hadits no. 1957

([5]) Catatan kaki no. 2 pada Musnad Ahmad, 36/644, pada penjelasan hadits no. 22306

([6]) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah, 4/427, pada penjelasan hadits no. 1957

([7]) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah, 4/426, pada penjelasan hadits no. 1957

([8]) Sunan Tirmidzi, no. 2911

([9]) Catatan kaki no. 2 pada Musnad Ahmad, 36/644, pada penjelasan hadits no. 22306

([10]) Adh-Dho’ifah, no. 1834

([11]) Hadits di dalam Ash-Shohihah, no. 961

([12]) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah, 4/427, pada penjelasan hadits no. 1957

([13]) Sragen, Rabu Bakda Isya, 10-Muharrom-1443 H / 18-Agustus-2021

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *