Fiqih Imamah (6) : Kapan Makmum Berdiri & Pengaturan Shaf

@Fiqih Imamah (6)1

Sampailah kita sekarang pada pembahasan ketujuh dan kedelapan dari silsilah Fiqih Imamah, Kapan Makmum Berdiri Untuk Melaksanakan Shalat? Dan Shaf Dalam Shalat Berikut Pengaturannya insyaAllah.

Kapan Makmum Berdiri Untuk Melaksanakan Shalat?

Tidak ada batasan tertentu tentang kapan makmum berdiri untuk shalat2. Tidak ada perbedaan antara berdiri di awal iqamah, di tengah atau di akhirnya. Yang terpenting adalah tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para makmumpun tidak segera berdiri saat dikumandangkan iqamah hingga imam sudah tampak keluar. Berdasarkan hadits Abu Qatadah , Rasulullah bersabda:

« إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُومُوا حَتَّى تَرَوْنِى [قَدْ خَرَجْتُ

“Jika shalat sudah diiqamati, maka janganlah kalian berdiri hingga kalian melihat aku [telah keluar].” (Muttafaqun ‘alaih, HR. al-Bukhari (637), Muslim (604))

Juga hadits Jabir bin Samurah , dia berkata:

كَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ إِذَا دَحَضَتْ فَلاَ يُقِيمُ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِىُّ فَإِذَا خَرَجَ أَقَامَ الصَّلاَةَ حِينَ يَرَاهُ

“Dulu, Bilal adzan saat matahari telah bergeser dari tempatnya, dan dia tidak iqamah hingga Nabi keluar, jika beliau keluar, maka Bilal pun iqamah saat melihat beliau.” (Shahih, Muslim (606))

Dari dua hadits di atas disimpulkan bahwa Bilal  memperhatikan keluarnya Rasulullah , begitu dia melihat keluarnya Rasulullah sebelum orang lain melihat beliau keluar, dia iqamah, dan manusia kala itu tidak berdiri hingga melihat Rasulullah , dan Nabi tidak memulai shalat hingga mereka telah meluruskan shaf-shaf mereka. (al-Mufhim lima Asykala min Talkhisi Kitabi Muslim (2/222), Syarah Muslim (5/106))

Adapun hadits Abu Hurairah :

أَنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ تُقَامُ لِرَسُولِ اللَّهِ فَيَأْخُذُ النَّاسُ مَصَافَّهُمْ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ النَّبِىُّ مَقَامَهُ

“Sesungguhnya shalat diqomati untuk Rasulullah lalu manusia mengambil bagian di shaf-shaf mereka sebelum Nabi berdiri pada tempat beliau.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. al-Bukhari (639), Muslim (605) dgn redaksi muslim)

Imam an-Nawawi  berkata tentangnya, ‘Dan riwayat Abu Hurairah , ‘lalu manusia mengambil bagian di shaf-shaf mereka sebelum Nabi berdiri pada tempat beliau’ boleh jadi itu sekali atau dua kali, dan semacamnya untuk menunjukkan kebolehannya, atau karena udzur, dan boleh jadi sabda beliau , ‘Janganlah kalian berdiri hingga melihatku’ setelah kejadian itu. Para ulama berkata, ‘Larangan berdiri sebelum melihat beliau, agar mereka tidak terlalu lama berdiri, juga kadang ada suatu kepentingan hingga Nabi terlambat karenanya.’ (Syarah Muslim (5/106), Bad`i’ul Fawa`id (3/69))

Al-Hafidz Ibnu Hajar  juga mengatakan dengan makna yang senada dengan perkataan Imam Nawawi . (Fathul Bari (2/120))

Shaf Dalam Shalat Berikut Pengaturannya

1. Urutan Shaf

Hendaknya bersiri di belakang imam orang-orang yang sudah baligh lagi berakal. Berdasarkan hadits Abu Mas’ud , dari Nabi yang didalamnya disebutkan:

« … لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ »

“Hendaklah yang dibelakangku dari kalian adalah orang-orang yang baligh dan berakal, kemudian setelah mereka dan setelah mereka.” (HR. Muslim (432))

Juga hadits ‘Abdullah bin Mas’ud , bahwa Rasulullah bersabda:

« لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلاَثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الأَسْوَاقِ »

“Hendaklah yang dibelakangku dari kalian adalah orang-orang yang baligh dan berakal, kemudian setelah mereka –tiga kali-, dan jauhilah haisyatul aswaq (kegaduhan, cekcok, kata-kata kasar lagi keras, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang di pasar).” (HR. Muslim (123 (432)))

Maka urutan shaf di belakang imam adalah kaum laki-laki, kemudian anak-anak, kemudian kaum wanita, selagi anak-anak tidak mendahului duduk di shaf pertama, jika mereka telah mendahului, maka dia lebih berhak. (lihat rinciannya pada Fiqih Imamah (5) edisi yang lalu)

2. Meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib

An-Nu’man bin Basyir , berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

« لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ »

“Benar-benar kalian meluruskan shaf-shaf kalian, atau (kalau kalian tidak melakukannya) maka Allah benar-benar akan menjadikan wajah-wajah kalian berselisih.” (HR. al-Bukhari (717))

Dalam redaksi Muslim:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُسَوِّى صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّى بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ « عِبَادَ اللَّهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ »

‘Adalah Rasulullah meluruskan shaf-shaf kami, hingga seakan-akan beliau meluruskan anak panah dengannya3, hingga beliau mengganggap bahwa kami telah memenuhinya. Kemudian pada suatu hari, beliau berdiri, hingga hampir beliau bertakbir kemudian melihat seorang laki-laki yang menonjolkan dadanya dari shaf, maka beliau bersabda, ‘Wahai hamba-hamba Allah, benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan benar-benar memperselisihkan wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim (436))

Dari hadits inilah, diambil kesimpulan bahwa melurus rapatkan shaf hukumnya wajib. (Ikhtiyaratul fiqhiyyah, syaikhul Islam (75-76))

Hal ini juga berdasarkan hadits Anas , dari Nabi :

« سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ » وَفِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: «… مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ »

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, dikarenakan meluruskan shaf adalah termasuk penegakan shalat.” Dan dalam redaksi muslim: “… termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. al-Bukhari (723), Muslim (433))

Juga hadits Abu Hurairah  :

« … وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِى الصَّلاَةِ ، فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ »

“… dan tegakkanlah shaf dalam shalat, sesungguhnya menegakkan shaf termasuk kebaikan shalat.” (HR. Al-Bukhari (689))

Ibnu ‘Utsaimin  berkata, ‘…pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, sesungguhnya suatu jama’ah, jika tidak meluruskan shaf, maka mereka berdosa dan inilah dzahir lafadz Syaikhul Islam .” (as-Syarhul Mumti’ (4/11))

3. Lafadz-lafadz Nabi dalam meluruskan shaf:

Hadits Anas :

« أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا …»

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaf-shaf kalian, dan saling menempellah (rapatkanlah)…” (HR. al-Bukhari (719))

Hadits Anas :

« سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ »

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, dikarenakan pelurusan shaf-shaf termasuk bagidan dari mendirikan shalat.” (HR. al-Bukhari (723))

Hadits Anas :

« سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ »

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, dikarenakan pelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim (433))

Hadits Abu Hurairah :

« أَقِيمُوا الصَّفَّ فِى الصَّلاَةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ »

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaf dalam shalat, dikarenakan menegakkan (meluruskan) shaf termasuk bagian dari kebaikan shalat.” (HR. Muslim (435), asalnya dalam al-Bukhari (722))

Hadits Abu Mas’ud dan Ibnu Mas’ud :

« اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ … »

“Luruskan, dan jangan berselisih, maka hati kalian akan berselisih…” (HR. Muslim (122(432), dan 123(432))

Hadits Anas :

« أَتِمُّوا الصَُفُوْفَ … »

“Sempurnakanlah shaf-shaf…” (HR. Muslim (434))

Hadits Anas :

« أَقِيْمُوا الصُّفُوْفُ … »

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaf-shaf…” (HR. al-Bukhari (725))

Hadits an-Nu’man bin Basyir:

« أَقِيْمُوا صُفُوْفَكُمْ … »

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaf-shaf kalian…” (Shahih, HR. Abu Dawud (662), Shahih Sunan Abu Dawud (1/196))

Hadits Abdullah bin Umar :

« أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ »

“Dirikan (luruskan)lah shaf-shaf, sejajarkan pundak-pundak, tutuplah celak-celah, lunaklah di hadapan saudara-saudara kalian, dan jangan biarkan celah-celah untuk syetan, siapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutus shaf, maka Allah akan memutusnya.” (Shahih, HR. Abu Dawud (666), Shahih Sunan Abu Dawud (1/197))

Hadits Anas :

« رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ … »

“Rapatkanlah shaf-shaf kalian, dan dekatkanlan diantara shaf-shaf itu, serta sejajarkanlah leher-leher.” (Shahih, HR. Abu Dawud (667), Shahih Abu Dawud (1/198))

Hadits Anas :

« أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِى يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِى الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ »

“Sempurnakanlah shaf yang terdepan, kemudian setelahnya, maka apa yang kurang hendaknya berada di shaf yang paling belakang.” (Shahih, HR. Abu Dawud (671), Shahih Abu Dawud (1/198))

Hadits Anas :

« اسْتَوُوا اسْتَوُوا اسْتَوُوا… »

“Luruskanlah, luruskanlah, luruskanlah…” (Shahih, HR. an-Nasa`i (812), Shahih an-Nasa`i (1/269))

Hadits Anas :

« أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا … »

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaf-shaf kalian dan saling merapatlah…” (al-Bukhari (719), an-Nasa’i (813), Shahih Sunan an-Nasa`i (1/269))

Hadits al-Barra` bin ‘Azib :

« لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ »

“Janganlah kalian berselisih, hingga hati kalian berselisih.” (Shahih, HR. Abu Dawud (664), Shahih Sunan Abu Dawud (1/197))

Hadits Abu Hurairah :

« أَحْسِنُوا إِقَامَةَ الصُّفُوفِ… »

“Perbagusilah penegakan (pelurusan) shaf-shaf…” (Shahih, HR. Ahmad (2/485), Shahih at-Targhib wat Tarhib (1/334))

Bersambung insyaallah…. (AR)

⚜⚜⚜

1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.

2 Ada perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, disebutkan dari Abu Hanifah , ‘Berdiri pada saat hayaa ‘alal falah‘, disebutkan pula dari beliau , ‘Berdiri pada saat hayya ‘alas shalah‘; dari Imam Syafi’i , ‘Berdiri saat muadzdzin selesai iqamah’; dari Imam Malik , ‘Berdiri saat muadzdzin iqamah’, disebut pula dari beliau, ‘Berdirinya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan makmum, karena diantara mereka ada yang gemuk, ada yang kurus, serta tidak ada batasan tertentu (kapan berdirinya)’; disebutkan dari Imam Ahmad , ‘Berdiri saat muadzdzin berkata qod qomatis shalah‘, hal ini disebutkan dari Anas ; ada juga yang mengatakan bahwa jika imam bersama mereka didalam masjid, maka jangan berdiri hingga iqamah selesai, dan jika imam tidak berada di dalam masjid maka jangan berdiri hingga melihatnya. (lihat Syarah Muslim (5/106), Fathul Bari (2/120), al-Mughni (2/123), al-Inshaf fi ma’rifatir rajih minal khilaf yang dicetak bersama al-Muqni’ dan as-Syarhul Kabir (3/401), Nailul Authar (2/438), Hasyiah Ibnu Qasim ‘alar Raudh al-Murabba’ (2/6-7), syarhul Mumti’ (3/9-10), Shalatul Jama’ah, as-Sadlan (97))

3 Gambaran tentang kesungguhan dalam meluruskan shaf sampai seolah-olah anak-anak panah tegak dengan shaf itu, bukan shaf ditegakkan dengan anak panah. Ini adalah mubalaghah. Qidah adalah bentuk jamak dari qidh yang berarti anak panah sebelum dipasang mata panah dan ekornya. (AH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *