@Fiqih Imamah (5)1
Posisi Makmum Terhadap Imam
Sampailah kita sekarang pada pembahasan keenam dari silsilah Fiqih Imamah, yaitu tentang posisi makmum dari imam, berikut ini perinciannya:
1. Makmum sendirian berdiri sejajar di sebelah kanan imam
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas L, yang didalamnya disebutkan,
[arabic-font]فَقَامَ يُصَلِّى ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ ، فَأَخَذَ بِأُذُنِى فَأَدَارَنِى عَنْ يَمِينِه[/arabic-font]ِ
‘… maka berdirilah Nabi G menunaikan shalat, lalu aku berdiri di sisi kiri beliau, kemudian beliau memegang telingaku kemudian memutarku menuju ke arah kanan beliau.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Dua orang makmum atau lebih, berdiri di belakang imam.
Berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, dan di dalamnya disebutkan, ‘… akupun datang hingga berdiri di sisi kiri Rasulullah , maka beliau memegang tanganku, kemudian memutarku hingga mendirikan aku di sisi kanan beliau. Kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr, lalu dia berwudhu’ kemudian datang berdiri di sisi kiri Rasulullah ,
فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
‘Maka Rasulullah memegang kedua tangan kami semua, lalu mendorong kami, hingga mendirikan kami di belakang beliau.’ (HR. Muslim (766, 3010))
3. Imam berdiri di pertengahan shaf
Dalam hal ini ada sebuah hadits
« وَسِّطُوا الإِمَامَ وَسُدُّوا الْخَلَلَ »
“Jadikanlah imam di tengah, dan tutupilah celah-celah shaf.” (HR. Abu Dawud (681), didha’ifkan oleh al-Albani dalam Dha’if Abu Dawud))
Sekalipun hadits ini dha’if, akan tetapi para ulama mengamalkannya.
Syaikh bin Baz berkata, ‘Shaf itu dimulai dari tengah, yaitu dari belakang imam, kemudian sisi kanan shaf itu lebih baik dari sisi kirinya, dan yang wajib adalah tidak memulai shaf kecuali shaf sebelumnya sudah penuh…’ (Fatawa Ibnu Baz (12/205))
4. Wanita yang sendirian berdiri di belakang seorang laki-laki
Berdasarkan hadits Anas
وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا
“Aku dan seorang yatim bershaf di belakang beliau, sementara seorang wanita tua berdiri di belakang kami.” (HR. Muslim (1531))
Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ‘Para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita shalat sendirian di belakang seorang laki-laki, dan sunnahnya adalah dia berdiri pas di belakang laki-laki, dan tidak di sebelah kanannya.’ (al-Istidzkar al-Jami’ limadzahibi fuqaha`il amshar (6/249), al-Mughni (3/53-54))
5. Seorang wanita atau lebih berdiri di belakang barisan kaum laki-laki.
Berdasarkan hadits Anas diatas, juga hadits lain dari Anas bin Malik pula:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ. قَالَ فَأَقَامَنِى عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
‘Bahwasannya Rasulullah shalat bersamanya, ibu atau bibinya, dia berkata, ‘Maka beliau mendirikanku di sisi kanan beliau, kemudian mendirikan wanita di belakang kami.’ (HR. Muslim (1534))
Dalam redaksi Abu Dawud:
ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ تَطَوُّعًا فَقَامَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ وَأُمُّ حَرَامٍ خَلْفَنَا
“Kemudian beliau shalat sunnah dua rakaat bersama kami, Ummu Sulaim dan Ummu Haram berdiri dibelakang kami.” (HR. Abu Dawud (608), dishahihkan oleh al-Albani, Shahih Abu Dawud (1/182))
6. Seorang makmum wanita berdiri sejajar disebelah kanan imam wanita sebagaimana seorang makmum laki-laki berdiri sejajar disebelah kanan imam laki-laki.
Sama dengan point pertama dalam pembahasan ini. (lihat pula al-Kafi Ibnu Qudamah (1/434), ar-Raudhul murabba’ (2/340))
7. Dua makmum wanita atau lebih berdiri di sebelah kanan dan kirim imam wanita, dalam hal ini disunnahkan imam berada satu shaf sejajar dengan makmumnya.
Berdasarkan riwayat Qatadah , dari Ummul Hasan,
أَنَّهَا رَأَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ تَؤُمُّ النِّسَاءَ تَقُوْمُ مَعَهُنَّ فِيْ صَفِّهِنَّ
‘Bahwasannya dia melihat Ummu Salamah, istri Nabi , dia mengimami kaum wanita, dan berdiri bersama mereka di dalam shaf mereka.’ (HR. ‘Abdurrazzaq, al-Mushannaf (5082), Ibnu Abi Syaibah (2/88), as-Syafi’i, al-Musnad (6/82), ad-Daraquthni (1/404), al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm berhujjah dengannya dalam al-Muhalla (3/172))
Juga diriwayatkan bahwa ‘Aisyah mengimami kaum wanita dan dia berdiri bersama mereka di dalam shaf. (HR. ‘Abdurrazzaq, al-Mushannaf (5086), Ibnu Abi Syaibah (2/89), al-Hakim (1/203), ad-Daraquthni (1/404), al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm berhujjah dengannya dalam al-Muhalla (3/171))
Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari ‘Ammar adz-Dzahabi dari seorang wanita kaumnya yang bernama Hujairah binti Hushain, dia berkata, ‘Ummu Salamah mengimami kami [pada shalat asar] dan berdiri [diantara kami] di tengah kaum wanita.’ (HR. Ibnu Abi Syaibah (2/88), ‘Abdurrazzaq, dan al-Baihaqi, dishahihkan oleh an-Nawawi, dan didiamkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, dan disimpulkan oleh al-Albani bahwa atsar ini layak untuk diamalkan, Tamamul Minnah (1/154))
8. Makmum yang telanjang berdiri disisi kanan dan kirim imam mereka yang juga telanjang
Imam berdiri di pertengahan shaf mereka, karena ini lebih menutupi diri mereka. Ibnu Qudamah berkata: ‘Jika jama’ah disyariatkan bagi kaum wanita yang telanjang, padahal menutupi diri itu lebih ditekankan pada hak mereka, dan jama’ah itu lebih ringan pada hak mereka, maka bagi kaum laki-lakipun lebih utama dan layak. Kemudian, ghadhdhul bashar (menahan pandangan) itu akan bisa didapatkan dengan keberadaan mereka dalam satu shaf yang sebagiannya menutupi sebagian lain. Jika hal ini terjadi, maka mereka shalat dalam satu shaf, sementara imam mereka berdiri di tengah shaf agar lebih menutupinya.’ (al-Mughni (2/318-320))
Ini adalah wajib, kecuali jika mereka semua buta, atau dalam kegelapan, maka imam tersebut shalat di hadapan mereka. (Syarhul Mumti’ (2/184, 4/370))
9. Posisi makmum laki-laki dewasa, anak-anak, dan kaum wanita dari imam
Posisi mereka adalah sebagai berikut:
-
laki-laki dewasa berdiri di belakang imam jika mereka datang lebih dahulu
-
kemudian anak-anak berdiri di belakang kaum laki-laki dewasa selagi mereka tidak mendahului laki-laki dewasa, atau tidak ada satu penghalangpun yang menghalanginya berdiri di belakang laki-laki dewasa
-
kemudian kaum wanita berbaris di belakang anak-anak.
Berdasarkan haits Abu Mas’ud , dia berkata, adalah Rasulullah mengusap pundak-pundak kami dalam shalat seraya bersabda:
« اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ »
“Luruskanlah (barisan) jangan berselisih, maka hati kalian akan berselisih, hendaknya orang-orang yang baligh berakal berada (dibelakang) setelahku, kemudian yang setelah mereka, kemudian setelah mereka.’ (HR. Muslim (122 (432))
Yang dimaksud adalah hendaknya kaum lelaki maju berada di depan, kemudian setelah itu adalah anak-anak laki-laki, karena mereka lebih didahulukan daripada kaum wanita, kemudian baru setelah itu kaum wnaita. Dikarenakan Nabi bersabda:
« خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا »
“Sebaik-baik shaf kaum laki-laki adalah yang paling awal (depan), dan seburuk-buruk shafnya adalah yang paling akhir (belakang), dan sebagik-baik shaf kaum wanita adalah palng belakang dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR. Muslim (440))
Hadits tersebut mengharuskan shaf kaum wanita dibelakang shaf kaum laki-laki. (Syahrul Mumti’ (4/390))
Anak-anak lebih utama di belakan shaf kaum laki, kecuali jika yang demikian menjadikan gaduh dan mengganggu orang-orang yang shalat, maka kita jadikan diantara setiap dua anak ada seorang laki-laki baligh, agar manusia khusyu’ (tenang) dalam shalat. (Syarhul Mumti’ (4/391))
Dikecualikan jika ada seorang anak telah datang di awal waktu lalu duduk di shaf pertama, maka dia lebih berhak untuk berdiri pada shaf pertama itu daripada selainnya. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar dari Nabi beliau bersabda:
« لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ، ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ »
“Tidak boleh seseorang menyuruh berdiri orang lain dari tempat duduknya, kemudian dia duduk padanya.”
Dalam satu redaksi:
نَهَى النَّبِىُّ أَنْ يُقِيمَ الرَّجُلُ أَخَاهُ مِنْ مَقْعَدِهِ وَيَجْلِسَ فِيهِ
‘Nabi melarang seorang laki-laki menyuruh berdiri saudaranya dari tempat duduknya kemudian dia duduk padanya.’ Kemudian dikatakan kepada Nafi’, ‘Apakah untuk shalat jum’at?’ maka dia menjawab, ‘Untuk jum’at dan lainnya.’ (HR. al-Bukhari (911, 6269), Muslim (2177))
Dalam redaksi Muslim:
« لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا »
“Tidak boleh seorang lak-laki menyuruh berdiri laki-laki lain dari tempat duduknya kemudian dia duduk padanya, akan tetapi luaskan dan lapangkanlah.”
Kemudian, menyuruh seorang anak untuk berdiri dan pindah dari tempatnya, kemudian memundurkannya dari tempatnya akan mengakibatkan larinya anak-anak dari masjid-masjid, juga membuatnya benci kepada laki-laki yang memundurkannya dari shaf, maka ini adalah sebuah kerusakan. (Syarhul Mumti’ (3/20-21, 4/389-393), Nailul Authar (2/426), al-Mughni (3/57))
Jika anak itu sudah usia tamyiz berakal, maka dia tidak boleh dimundurkan dari tempatnya, dikarenakan dia telah mendahului sesuatu yang tidak didahului seorang seorang muslim lain, maka dia lebih berhak terhadapnya. Juga karena pada hal ini akan ada pendorong kuat bagi anak-anak untuk berlomba-lomba menuju shalat. Jika anak tersebut belum mumayyiz, atau masih belum berakal, maka dia dimundurkan, dikarenakan shalatnya tidak sah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Jam’ut Tahayyar (4/415)).
Pembahasan berikutnya akan kita ketengahkan pasal ketujuh dan kedelapan dari silsilah ini, yaitu tentang Kapan Makmum Berdiri Untuk Melaksanakan Shalat? Dan Shaf Dalam Shalat Berikut Pengaturannya insyaAllah. (AR)
⚜⚜⚜
1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.