@Fiqih Imamah (4)[1] *(ed)
Pembaca yang budiman, sampailah kita pada akhir pasal V dari pembahasan ini, yaitu ‘Macam-Macam Imamah Dalam Shalat’ yang meliputi 1) Sahnya imamah anak kecil, 2) Sahnya imamah orang buta, 3) Sahnya imamah seorang budak dan maula (bekas budak), 4) Sahnya imamah wanita bagi wanita, 5) Sahnya imamah seorang laki-laki untuk kaum wanita saja, 6) Sahnya imamah mafdhul (orang yang tidak utama) atas fadhil (orang yang lebih utama), 7) Sahnya orang yang bertayammum mengimami yang berwudhu`, 8) Sahnya imamah orang musafir bagi yang mukim, dan yang mukim menyempurnakan shalatnya setelah imam yang musafir itu salam, 9) Sahnya imamah yang mukim untuk musafir, dan yang musafir menyempurnakan shalatnya sebagaimana shalatnya imam. 10) Sahnya imamah yang berniat ada` (penunaian shalat) mengimami makmum yang berniat qadha` (pembayaran hutang shalat). 11) Sahnya imamah yang mengqadha` atas yang ada`. 12) Sahnya imamah yang shalat fardhu atas yang shalat sunnah. 13) Sahnya imamah yang shalat sunnah atas yang shalat fardhu. 14) Sahnya imamah orang yang shalat Ashar atau yang lain untuk yang shalat zhuhur atau yang lain. 15) Sahnya Imamah orang fasiq, yang shalatnya sah jika shalat sendirian.
Sekarang kita lanjutkan dengan poin berikutnya.
16. Makruhnya imamah seseorang yang dibenci oleh kaumnya.
Berdasarkan hadits Abu Umamah I, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
[arabic-font]« ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمُ الْعَبْدُ الآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ »[/arabic-font]
“Ada tiga (golongan orang) yang shalat mereka tidak akan melewati telinga-telinga mereka (yaitu shalat mereka tidak akan diterima, atau diangkat dengan sempurna); seorang hamba yang melarikan diri (dari tuannya) hingga dia kembali (kepada tuannya); seorang wanita yang tidur (malam hari) sementara suaminya murka kepadanya; serta imamnya suatu kaum yang mereka itu membencinya.” (Hasan, HR. at-Turmudzi (360), al-Baihaqi (3128), Shahihut Targhib wa Tarhib (1/228))
Dari ‘Amr bin al-Harits bin al-Mushthaliq, dia berkata, ‘Pernah dikatakan, ‘Manusia yang paling keras adzabnya (pada hari kiamat), dua orang; seorang wanita yang bermaksiat kepada suaminya, serta imam suatu kaum yang mereka membencinya.’ (Shahih, HR. at-Turmudzi (359), Shahih at-Turmudzi (1113)
Sebagian ahli ilmu menyatakan hukumnya makruh, tapi jika imam tersebut tidak zhalim, maka yang dosa adalah yang membencinya. Demikian pula jika yang membencinya cuma satu atau dua orang, maka tidak jadi masalah untuk mengimami hingga mayoritas kaum membencinya.[2] Para ulama juga mengaitkan kebencian tersebut dengan sebab syar’i, adapun jika kebencian tersebut tidak berkaitan dengan din (agama), maka tidak bernilai.[3] Demikian pula jika imam tersebut dibenci karena mengamalkan sunnah, atau karena melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka yang dosa adalah yang membencinya.[4]
17. Tidak boleh bagi tamu untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan izin mereka.
Berdasarkan hadits Malik bin al-Huwairits I, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
[arabic-font]« مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلاَ يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ »[/arabic-font]
“Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka janganlah dia mengimami mereka, dan hendaknya seorang dari merekalah yang mengimami mereka.” (Shahih, HR. Abu Dawud (596), at-Turmudzi (3556), an-Nasa`i (787), Shahih at-Turmudzi (1/112))
Imam at-Turmudzi V berkata, ‘ Para ulama dari sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka mengamalkan hadits ini, mereka berkata, ‘Pemilik rumah lebih berhak menjadi imam daripada yang bertamu.’ At-Turmudzi V berkata, ‘Sebagian ahli ilmu berkata, ‘Jika tuan rumah mengizinkan, maka tidak mengapa shalat dengan (mengimami)nya.’[5] Syaikhul Islam V berkata, ‘Mayoritas ulama menyatakan bahwa tidak mengapa tamu menjadi imam dengan izin tuan rumah.’[6] Juga berdasarkan pernyataan Ibnu Mas’ud I, ‘Kecuali dengan izin (tuan rumah)nya.’ (HR. Muslim (673))
Abu Hurairah I meriwayatkan dari Nabi ﷺ, beliau ﷺ bersabda:
[arabic-font]« لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يُصَلِّىَ وَهُوَ حَقِنٌ حَتَّى يَتَخَفَّفَ ». وقَالَ « وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَؤُمَّ قَوْمًا إِلاَّ بِإِذْنِهِمْ وَلاَ يَخْتَصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ »[/arabic-font]
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia shalat dalam keadaan menahan buang air kecil hingga menjadi ringan (setelah buang hajat).” Beliau bersabda: “Dan tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan izin mereka, dan tidak boleh bagi dia untuk mengkhususkan suatu do’a untuk dirinya sendiri tanpa mereka, jika dia melakukannya, maka dia telah mengkhianati mereka.” (Shahih, HR. Abu Dawud (91), Shahih Sunan Abu Dawud (1/20))
Imam as-Syaukani V berkata, ‘Hadits Abu Hurairah yang di dalamnya dikatakan ‘kecuali dengan izin mereka’ maka ini mengandung makna bolehnya imamah tamu dengan keridhaan tuan rumah. Al-‘Iraqi V berkata, ‘Hal ini disyariatkan jika tuan rumah adalah memang orang yang berhak untuk menjadi imam, jika dia tidak berhak menjadi imam, seperti seorang wanita, sementara tamunya adalah laki-laki, atau orang ummi sementara tamunya adalah yang ahli baca al-Qur`an, dan semacamnya, maka tidak ada hak bagi keduanya (bagi tuan rumah) untuk jadi imam.”[7]
18. Tidak boleh mengimami suatu masjid sebelum imam rawatibnya datang, kecuali jika sang imam sangat terlambat dari waktu semestinya, atau dengan izinnya.
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
[arabic-font]« … وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ »[/arabic-font]
“… dan tidak boleh seseorang mengimami seseorang di wilayah kekuasaannya, dan tidak boleh dia duduk di tempat istimewanya kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim (673))
Maka tidak boleh bagi seorang manusia untuk mengimami suatu masjid yang memiliki imam rawatib kecuali dengan izin sang imam, seperti memberinya perwakilan dengan mengatakan, ‘Shalatlah bersama manusia, atau untuk jama’ah jika aku terlambat dari waktu iqamat maka shalatlah.’
Dan boleh bagi jama’ah, jika sang imam sangat terlambat untuk menyuruh salah satu diantara mereka berdasarkan perbuatan as-Shiddiq I[8], juga ‘Abdurrahman bin ‘Auf saat Nabi ﷺ tidak hadir, yang kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kalian berbuat bagus.’[9]
Jika dia mengimami suatu masjid sebelum imam rawatibnya datang, tanpa izinnya, atau tanpa udzur sang imam, maka dikatakan, shalatnya tidak sah, wajib bagi mereka untuk mengulanginya lagi bersama dengan imam rawatib. Dikatakan pula shalat sah tapi disertai dosa, dan inilah yang benar, karena hukum asli shalat mereka adalah sah, hingga datang dalil yang menyatakan kerusakannya.[10]
19. Sahnya imamah dengan membaca dari mushhaf
Ini adalah pendapat yang shahih dari dua pendapat ahli ilmu, karena ‘Aisyah J diimami oleh budaknya yaitu Dzikwan yang membaca dari Mushhaf.[11]
Maka hal ini boleh dilakukan jika memang diperlukan, sebagaimana boleh membaca dari mushaf dalam shalat tarawih bagi mereka yang tidak hafal al-Qur`an. Juga dalam sunnah memanjangkan bacaan al-Qur`an dalam shalat subuh. Maka jika imam tidak hafal surat mufashshal (dari Surrat Qaf sampai akhir) tidak juga bagian al-Qur`an yang lain, maka boleh baginya untuk membaca dari Mushaf, dan disyariatkan baginya untuk sibuk dan bersungguh-sungguh menghafalkan al-Qur`an.[12]
Pada pembahasan berikutnya akan kita lanjutkan dengan pasal VI insya Allah. (AR)*
=== ⚜⚜⚜ ===
[1] Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.
[2] Lihat Sunan at-Turmudzi (97)
[3] Lihat Nailul Authar, as-Syaukani (2/417-418)
[4] Lihat at-Turmudzi setelah hadits no. 359, al-Mughni, Ibnu Qudamah (3171)
[5] At-Turmudzi, setelah menyebutkan hadits no. 356.
[6] Al-Muntaqa min Akhbaril Musthafa , setelah hadits no. 1422.
[7] Nailul Authar, as-Syaukani (2394)
[8] Al-Bukhari (684), Muslim (421)
[9] Al-Bukhari (182), Muslim (274)
[10] Lihat ar-Raudhul Murabba‘ dengan Hasyiah Ibnu Qasim (2/267-268), Syarhul Mumti‘, Ibnu ‘Utsaimin (4/218), Majmu‘ Fatawa Ibnu Baz (12/143)
[11] Al-Bukhari (692)
[12] Majmu‘ Fatawa Ibnu Baz (4/388), Hasyiah bin Baz atas Fathul Bari (2/185)