ETIKA MEMBACA AL QURAN (Bagian Ketiga)

 

Pembaca yang budiman, pada edisi yang lalu telah kita bahas bagian kedua dari etika-etika dalam membaca al Quran, yaitu : 4) janganlah mengatakan “aku telah lupa” ayat atau surat al Quran, 5) kewajiban me-tadabburi isi al Quran, 6) bolehnya membaca al Quran sambil berdiri, berjalan, berbaring atau berkendara dan 7) tidak menyentuh al Quran kecuali dalam keadaan suci. Pada edisi ini akan kita lanjutkan dengan etika-etika membaca al Quran yang lain.

 

  1. Dibolehkan Membaca Al Quran Dari Hafalannya Bagi Orang Yang Berhadas Kecil

 

Adapun orang-orang yang junub, maka tidak diperkenankan kepada mereka membaca al Quran bagaimanapun keadaan mereka. Dalil masalah ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Ali radhiyallaahu ‘anhu, dimana ia berkata :

 

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا

 

“Adalah Rasulullah ﷺ biasa membacakan al Quran kepada kami selama beliau tidak dalam keadaan junub” (Ahmad 627, Tirmidzi 131)

 

Adapun dengan adanya hadas kecil, maka ia diperbolehkan membacanya melalui hafalan. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu ketika dia menginap di rumah bibinya, Maimunah radhiyallaahu ‘anha, istri Nabi ﷺ, Beliau ﷺ bersabda :

 

حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ اللَّيْلُ، أَوْ قَبْلَهُ بِقَلِيلٍ أَوْ بَعْدَهُ بِقَلِيلٍ، اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَرَأَ العَشْرَ الآيَاتِ الخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ، فَتَوَضَّأَ مِنْهَا فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ

 

“…hingga ketika sampai kurang lebih pertengahan malam, Rasulullah ﷺ bangun dari tidurnya, kemudian duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, lantas membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, kemudian bangkit menuju tempat air yang tergantung dan berwudlu dengan air tersebut serta menyempurnakan wudlunya…” (Bukhori 183, Muslim 673)

 

Maka bacaan Rasulullah ﷺ setelah bangun dari tidurnya dan sebelum wudlunya adalah dalil atas bolehnya membaca al Quran bagi siapa saja yang berhadas karena kencing, buang air besar atau tidur. Akan tetapi yang lebih sempurna dan utama tentunya adalah membaca al Quran dalam keadaan suci.

 

Tidak ada celaan dan juga pengingkaran atas seseorang yang membaca al Quran dengan keadaan seperti ini. Bahkan celaan ditujukan kepada siapa saja yang mengingkari sunnah yang benar ini.

 

Ada sebuah riwayat, sebagaimana dikutip dalam kitab Muwaththa Imam Malik, bahwa Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu pernah berada di tengah-tengah suatu kaum yang membaca al Quran. Kemudian ia keluar untuk menunaikan hajatnya. Setelah itu kembali lagi dalam keadaan membaca al Quran. Maka berkata seseorang kepadanya : “Wahai Amiral Mukminin, apakah anda membaca al Quran sedangkan anda tidak memiliki wudlu?”, maka Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata kepadanya : “Siapakah yang berfatwa kepadamu tentang hal itu, apakah Musailamah?” (Muwaththa 469)

 

Permasalahan : apakah diperbolehkan bagi seseorang yang berhadas kecil untuk membaca al Quran dari mushaf?

 

Jawab : Lajnah Daimah (Komisi Fatwa) berkata dalam salah satu jawabannya, (yaitu) tidak boleh bagi orang yang junub membaca al Quran hingga ia mandi junub, sama saja hukumnya apakah ia membacanya melalui mushaf ataukah melalui hafalan. Dan ia juga tidak boleh membacanya dari mushaf kecuali dalam keadaan suci secara sempurna dari hadas kecil dan besar.

 

Permasalahan kedua : mana yang lebih utama antara membaca melalui hafalan ataukah membaca dari mushaf?

 

Jawab : ada perbedaan pendapat antara para ahli ilmu dalam masalah ini. sebagian dari mereka mengutamakan membaca melalui hafalan atas membaca melalui mushaf. Akan tetapi yang lain melarang yang demikian, dan mereka lebih banyak jumlahnya. Mereka mengatakan : sesungguhnya membaca dari mushaf lebih utama karena melihat al Quran. Dan ketika melihat al Quran ada bekas-bekas yang tertanam dalam hati. Adapun yang lain memberikan rincian dalam masalah itu. Ibnu Katsir berkata : sebagian ulama berkata : inti dalam masalah ini adalah kekhusyukan. Jika khusyuk dirasakan lebih banyak ketika membaca melalui hafalan, maka yang demikian lebih utama. Dan jika membaca melalui mushaf lebih banyak mendatangkan kekhusyukan, maka yang demikian lebih utama tentunya. Dan jika sama saja, maka membaca dengan melihat mushaf lebih utama, karena yang demikian lebih meneguhkan dan bisa membedakan dengan melihat ke arah mushaf. Syaikh Zakariya an Nawawi berkata dalam Kitab Tibyaan : yang nampak adalah bahwa perkataan dan perbuatan salafus sholih menunjuk kepada rincian masalah ini. (Fadhailul Quran). Sedangkan Ibnu Jauzi berkata : “sepatutnya bagi orang yang memiliki mushaf untuk membaca dari mushafnya itu beberapa ayat yang mudah setiap hari agar tidak menjadi orang-orang yang mengabaikan al Quran” (al Aadaab asy Syar’iyyah)

 

  1. Bolehnya Membaca Al Quran Bagi Wanita Haid & Nifas

 

Dibolehkannya masalah ini dikarenakan tidak adanya dalil yang secara tegas melarang seorang wanita yang haid dan nifas melakukan hal tersebut, akan tetapi hendaklah dengan tidak menyentuh mushaf. Lajnah Daimah berkata adapun membaca al Quran bagi wanita yang haid dan nifas dengan tidak menyentuh mushaf maka tidak menjadi masalah. Hal ini menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat yang ada di kalangan para ulama, karena tidak ada dalil dari Nabi yang secara tegas melarang hal tersebut. (Fatawaa Lajnah Daimah)

 

  1. Dianjurkan Membersihkan Mulut Dengan Siwak Sebelum Membaca Al Quran

 

Hal ini termasuk adab terhadap kalamullah. Seorang qari’ yang hendak membaca kalamullah akan sangat baik jika membersihkan dan mengharumkan mulutnya dengan siwak atau apa saja yang dapat membersihkan mulut. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa yang demikian merupakan adab terhadap kalamullah. Nabi ﷺ telah mencontohkan yang demikian sebagaimana telah diceritakan oleh Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu:

 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ لِلتَّهَجُّدِ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

 

Kebiasaan Nabi ﷺ jika bangun malam untuk mendirikan tahajjud, Beliau terlebih dahulu membersihkan mulutnya dengan siwak (Bukhori 1136, Muslim 255, Ahmad 22802, Nasai 2, Abu Daud 55, Ibnu Majah 286, Darimi 685)

 

  1. Termasuk Sunnah Membaca Isti’aadzah dan Basmalah Ketika Hendak Membaca Al Quran

 

Termasuk sunnah adalah membaca isti’aadzah (bacaan : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم) sebelum membaca al Quran. Dasar dalam masalah ini adalah firman Allah surat an Nahl 98 : “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”.

 

Adapun dalil dari sunnah Nabi ﷺ adalah sebagaimana riwayat dari Abu Said al Khudry radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : adalah kebiasaan Nabi ﷺ jika bangun di waktu malam Beliau bertakbir dan membaca :

 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

 

“Mahasuci Engkau Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Mahasuci Nama-Mu, Mahatinggi Keagungan-Mu dan tidak ilah selain-Mu”. Kemudian membaca :

 

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

 

“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah” sebanyak tiga kali, kemudian mengatakan :

 

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرً

 

“Allah Mahabesar” sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan membaca :

 

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ

 

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaannya, dari kesombongannya dan pengaruhnya”. Kemudian Beliau ﷺ membaca al Quran (Abu Daud 775, dan Al Albany mengatakan shahih)

 

Dari ayat dan hadis diatas terdapat dua bentuk isti’aadzah, yaitu :

 

‌أ.          أَعُوْذُ بِالله مِنَ الشَيْطَانِ الرَجِيْمِ.

‌ب.        أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ.

‌ج.        أَعُوْذُ بِالسَّمِيْعِ العَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَجِيْمِ

 

Dan disunnahkan bagi orang yang membaca al Quran untuk membaca is’ti’aadzah dengan bentuk pertama dan lainnya.

 

Faidah isti’aadzah : keutamaan isti’aadzah adalah untuk menjauhkan setan dari hati seseorang, yaitu ketika ia membaca Kitabullah hingga mentadabburi isi dari al Quran, faham akan makna-maknanya dan mengambil manfaat darinya. Karena ada perbedaan antara membaca al Quran dengan hati yang hadir dan membaca al Quran dengan hati yang lalai. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Utsaimin.

 

Adapun membaca basmallah adalah sunnah. Anas radhiyallaahu ‘anhu telah meriwayatkan, ia berkata : pada suatu hari setelah shalat dhuhur, Rasulullah ﷺ berada di sisi kami dan tiba-tiba Beliau ﷺ mengantuk. Lalu Beliau ﷺ mengangkat kepala dan tersenyum. Kami bertanya : apa yang membuat anda tertawa wahai Rasulullah? Beliau ﷺ bersabda : “Barusan turun kepadaku suatu surat”. Maka kemudian Beliau ﷺ membaca :

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ}

 

“Bismillaahirrahmaanirrahiim, Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah, Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” … (Muslim 400)

 

Pertanyaan : telah menjadi kebiasaan manusia mereka mengakhiri bacaan mereka dengan ucapan shadaqallaahul ‘adziim. Apakah ucapan ini ada dalil yang shahih?

 

Jawab : tidak ada dalil atas ucapan diatas ketika selesai membaca al Quran. Dalil yang ada menguatkan pendapat yang tidak mengakhiri bacaan al Qurannya dengan bacaan diatas. Ibnu Masud radhiyallaahu ‘anhu  pernah berkata : bersabda Rasulullah ﷺ : “Bacakanlah (al Quran) kepadaku!”. Aku berkata : “apakah saya akan membacakan al Quran kepada anda padahal ia diturunkan kepada anda?”. Beliau ﷺ bersabda : “sesungguhnya aku sangat ingin mendengarnya dari dari orang lain”. Maka aku bacakan surat an Nisa, hingga ketika sampai pada ayat :

 

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا

 

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) (an Nisa : 41). Beliau ﷺ berkata kepadaku : “Cukup! Atau tahan bacaanmu!” dan aku melihat kedua matanya berlinang air mata (Bukhori 5055, Muslim 800)

 

Dalam hadis diatas, Nabi ﷺ sama sekali tidak menyuruh Ibnu Masud untuk mengakhiri bacaannya dengan ucapan “shadaqallaahul ‘adziim”, dan hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh generasi pertama dari umat ini. demikian juga halnya dengan shalafus sholeh dari orang-orang yang hidup sepeninggal generasi sahabat juga tidak ada yang mengamalkannya.

 

Lajnah Daimah berkata : ucapan “shadaqallaahul ‘adziim” pada dasarnya adalah ucapan yang benar. Akan tetapi jika dilakukan secara terus menerus setelah selesai membaca al Quran, maka ini termasuk perkara yang baru, karena amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat, sementara mereka sering sekali membaca al Quran.

 

 

Diterjemahkan dari Kitab al Adab oleh Abu Halwa Aziz Setiawan

Pernah dimuat di Majalah Al Umm Malang

(Bersambung Insyaallah)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *