ETIKA MEMBACA AL QURAN (Bagian Keempat)

 

Pembaca yang budiman, pada edisi yang lalu telah kita bahas bagian ketiga dari etika-etika dalam membaca al Quran, yaitu : 8) dibolehkan membaca al Quran dari hafalannya bagi orang yang berhadas kecil, 9) bolehnya membaca al Quran bagi wanita haid dan nifas, 10) dianjurakan membersihkan mulut dengan siwak sebelum membaca al Quran dan 11) termasuk sunnah membaca isti’aadzah dan basmalah ketika hendak membaca al Quran. Pada edisi ini akan kita lanjutkan dengan etika-etika membaca al Quran yang lain.

 

  1. Dianjurkan Membaca Al Quran Dengan Tartil Dan Makruh Membacanya Dengan Cepat

 

Allah subhaanahu wata’aalaa memerintahkan untuk membaca Kitab-Nya dengan tartil. Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman : “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan” (Al Muzzammil : 4). Dan yang dimaksud dengan tartil dalam bacaan adalah membaca dengan pelan-pelan dan serta dengan suara yang jelas tanpa kesalahan.

 

Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu berkata berkenaan firman-Nya : “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”, ia mengatakan membaca dengan sejelas-jelasnya. Dan Abu Ishaq berkata : dan membaca secara jelas tidak mungkin akan terlaksana jika tergesa-gesa dalam membacanya. Membaca secara jelas hanya dapat terlaksana jika setiap hurufnya dibaca dengan jelas dan diberikan setiap hak-haknya (ketentuan dalam hukum bacaan).

 

Adapun faedah yang diharapkan dari membaca dengan tartil adalah bahwa hal tersebut akan lebih membantu untuk memahami makna-makna al Quran.

 

Kebanyakan generasi salaf dan juga generasi setelahnya tidak menyukai tergesa-gesa dan terburu ketika membaca al Quran. Alasannya adalah karena keinginan pembaca yang ingin membaca banyak pada waktu singkat agar mendapatkan pahala yang banyak, akan tetapi kehilangan mashlahat yang banyak, yaitu tadabbur (memahami dan merenungi) ayat-ayat al Quran, mengambil faedah darinya, pengaruh dari membaca al Quran yang seharusnya ada pada diri pembaca, telah hilang karena tergesa-gesa dari membacanya.

 

Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa keadaan orang yang membaca al Quran dengan merenungi ayat-ayatnya dan menghadirkan makna-maknanya, lebih sempurna dari orang yang membacanya dengan tergesa-gesa karena mengharap segera menuntaskan dan memperbanyak bacaannya.

 

Ibnu Masud radhiyallaahu ‘anhu memiliki perkataan yang mengkritik orang yang membaca al Quran dengan tergesa-gesa. Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata : datang seseorang yang dikenal dengan nama Nuhaik bin Sinan kepada Abdullah bin Masud, ia berkata : “Wahai Abu Abdirrahman, bagaimana anda membaca huruf ini? dengan alif ataukah dengan ya’? (yaitu pada firman Allah subhaanahu wata’aalaa) :

 

من ماءٍ غير آسن

 

Ataukah dengan :

 

من ماءٍ غير ياسن

 

Ia berkata : Abdullah berkata : “dan seluruh al Quran telah engkau hitung selain dari ayat ini?”. dia berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar membaca al Mufashshal (terperinci) dalam satu rakaat”.

 

Abdullah berkata : “ini adalah pemenggalan sebagaimana pemenggalan sebuah syair? Sesungguhnya ada orang-orang yang membaca al Quran namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Akan tetapi, jika meresap dalam dada niscaya akan tertancap kuat didalamnya dan memberikan manfaat…” (Bukhori 775, Muslim 722)

 

Diriwayatkan dari Abu Jamrah, ia berkata : “Aku berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma: “sesungguhnya aku sangat cepat membaca al Quran, dan aku menyelesaikan membaca al Quran dalam 3 hari”. Ibnu Abbas berkata : “sesungguhnya aku membaca al Baqarah dalam satu malam dengan merenungi dan membacanya dengan tartil lebih aku sukai daripada membaca seperti yang kamu katakan”. Dalam riwayat lain disebutkan : “dan jika engkau harus melakukannya, maka bacalah al Quran dengan bacaan yang mana kedua telingamu mendengarnya dan hatimu tersadar”.

 

Ibnu Muflih rahimahullah berkata : Ahmad berkata : “bacaan yang ringan membuatku kagum dan aku membenci membacanya dengan cepat”. Harb berkata : “aku bertanya kepada Ahmad tentang membaca al Quran dengan cepat, maka beliau membencinya, kecuali jika lisan seseorang seperti itu atau ia tidak dapat membacanya secara perlahan”. Ketika ditanyakan : “apakah dalam kebiasaan seperti itu ada dosa?”. Ahmad berkata : “adapun tentang dosanya, maka aku tidak berani mengomentarinya” (al Aadaab asy Syar’iyyah)

 

Masalah : manakah yang lebih utama bagi seseorang yang membaca al Quran dengan tenang dan mentadabburinya ataukah membaca dengan cepat tanpa mengabaikan sedikitpun huruf-huruf dan harakatnya?

 

Jawab : jika membaca dengan cepat tidak sampai mengabaikan aturan dalam bacaan, sebagian ulama mengutamakan membaca dengan cepat, agar mendapatkan banyak pahala yang disediakan karena banyak membaca. Sebagian ulama yang lain mengutamakan membaca al Quran dan tartil dan tenang.

 

Ibnu Hajar rahimahullah berkata : pendapat yang tepat, bahwa membaca dengan cepat dan dengan tartil memiliki keutamaan masing-masing, dengan syarat orang yang membaca dengan cepat tidak sampai mengabaikan hak-hak huruf bacaan, harakat-harakat, sukun dan hal-hal wajib lainnya. Jadi tidak ada halangan dalam mengutamakan salah satu dari keduanya atau menyatakan keduanya sama dalam hal keutamaan. Karena seseorang yang membaca dengan perlahan dan merenungi isinya seperti orang yang bersedekah dengan sebuah permata yang berharga. Dan siapa yang membaca dengan cepat maka seperti orang yang bersedekah dengan beberapa permata dengan harga yang nilainya sama. Dan terkadang nilai permata yang satu lebih banyak dari nilai permata yang banyak. Dan bisa jadi sebaliknya (Fathul Bari)

 

  1. Dianjurkan Untuk Memanjangkan Bacaan al Quran

 

Keterangan tentang hal ini telah shahih dari Rasulullah ﷺ,

 

سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: «كَانَتْ مَدًّا» ، ثُمَّ قَرَأَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ

 

Anas ditanya bagaimanakah bacaan Nabi ﷺ? Maka Anas menjawab : “bacaannya panjang”. Kemudian ia membaca bismillaahirrahmaanirrahiim. Beliau memanjangkan ِبِسْمِ اللَّهِ, memanjangkan الرَّحْمَنِ, dan memanjangkan الرَّحِيمِ   (Bukhori 5045)

 

  1. Disunnah Memperindah Suara Ketika Membaca al Quran dan Larangan Membacanya Menyerupai Orang Yang Bernyanyi

 

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh al Bara’ radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata :

 

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَقْرَأُ: وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فِي العِشَاءِ، وَمَا سَمِعْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ أَوْ قِرَاءَةً “

 

Aku telah mendengar Nabi ﷺ membaca wat tiin waz zaituun ketika shalat isya, dan aku tidak mendengar seorangpun yang suaranya lebih baik dari suaranya dan bacaannya (Bukhori 769)

 

Adapun anjuran memperindah suara ketika membacanya, terdapat beberapa hadis shahih yang berbicara tentangnya. Diantaranya adalah sabda Nabi ﷺ:

 

لَمْ يَأْذَنِ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالقُرْآنِ

 

Allah tidak pernah mengizinkan sesuatu sebagaimana mengizinkan Nabi-Nya untuk melagukan al Quran (Bukhori 5023, Muslim 792).

 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata : maknanya adalah bahwa Allah tidak pernah mendengar sesuatu sebagaimana halnya mendengarkan bacaan Nabi ﷺ yang mengeraskan dan memperindah bacaannya. Hal ini disebabkan dalam bacaan para Nabi terkumpul suara yang bagus karena kesempurnaan ciptaan mereka dan takut mereka kepada-Nya. Inilah tujuan dari semua itu. Allah subhaanahu wata’aalaa mendengar semua suara hamba-hamba-Nya baik yang taat atau yang ingkar (Fadhailul Quran).

 

Imam Ahmad rahimahullah berkata : “orang yang membaca al Quran hendaklah memperindah suaranya, membacanya dengan penuh penghayatan dan tadabbur. Itulah makna sabda Nabi ﷺ:

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

 

Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan al Quran (Abu Daud 1469)

 

Dan aja juga riwayat dari al Bara’ bin ‘Azib radhiyallaahu ‘anhu, dimana Rasulullah ﷺ bersabda :

 

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

 

Hiasilah al Quran dengan suara-suara kalian (Abu Daud 1468).

 

Yang dimaksud dengan memperindah suara dengan al Quran adalah memperindah, menghayati dan khusyu’ ketika membacanya. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah (Fadhailul Quran).

 

Dan ketika Nabi ﷺ mendengar bacaan Abu Musa al Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu, Beliau ﷺ berkata kepadanya :

 

لَوْ رَأَيْتَنِي وَأَنَا أَسْتَمِعُ لِقِرَاءَتِكَ الْبَارِحَةَ، لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ

 

Seandainya engkau menyaksikanku di saat aku mendengarkan bacaanmu semalam! Sungguh engkau telah diberi keindahan suara sebagaimana indahnya suara Daud (Bukhori 5048, Muslim 793)

 

Sedangkan dalam riwayat Abu Ya’la ada tambahan dari perkataan Abu Musa : “sekiranya aku mengetahui keberadaanmu (wahai Rasulullah!) niscaya aku benar-benar memperindah suaraku untukmu” (Fathul Bari).

 

Perkataan Abu Musa menunjukkan bolehnya memperindah bacaan al Quran. Akan tetapi, bukan berarti kebolehan ini menyebabkan seseorang diperbolehkan mengeluarkan bacaannya dari batasan yang telah disyariatkan, seperti berlebihan dalam memanjangkan bacaan, menyambung ayat tanpa jeda, dan berlebih-lebihan hingga terjadi kekeliruan dalam bacaannya.

 

Hal seperti ini sama sekali tidak disyariatkan sama sekali. Imam Ahmad membenci bacaan al Quran seperti ini (berlebih-lebihan hingga terjadi kekeliruan), bahkan beliau mengatakan : (bacaan seperti) ini bidah (al Aadaab asy Syar’iyyah)

 

Syaikh Taqiyyuddin V berkata : membaca al Quran dengan cara melagukannya (lahn) yang menyerupai nyanyian adalah makruh yang termasuk bidah, sebagaimana hal itu disebutkan dalam perkataan Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam selain mereka (al Aadaab)

 

Diterjemahkan dari Kitab al Adab oleh Abdul Aziz Setiawan

Pernah dimuat di Majalah Al Umm Malang

(Bersambung Insyaallah)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *