11- Empat Hewan Tidak Sah Untuk Qurban
HADITS AL-BARO’ BIN ‘AZIB
عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، أَنَّهُ ذَكَرَ الْأَضَاحِيَّ فَقَالَ: أَشَارَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَيَدِي أَقْصَرُ مِنْ يَدِهِ فَقَالَ: «أَرْبَعٌ لَا يُضَحَّى بِهِنَّ؛ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلَعُهَا، وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي» فَقَالُوا لِلْبَرَاءِ: فَإِنَّمَا نَكْرَهُ النَّقْصَ فِي السِّنِّ وَالْأُذُنِ، وَالذَّنَبِ، قَالَ: “فَاكْرَهُوا مَا شِئْتُمْ وَلَا تُحَرِّمُوا عَلَى النَّاسِ”
Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, bahwa dia menyebutkan tentang hewan-hewan qurban, lalu dia berkata: Rasulullah ﷺ mengisyaratkan dengan tangan beliau, namun tangan-ku lebih pendek dari tangan beliau.
Lalu beliau bersabda: “Empat (hewan) tidak boleh untuk qurban: 1) Hewan yang buta sebelah, yang jelas sekali kebutaannya. 2) Hewan yang sakit, yang jelas sakitnya; 3) Hewan yang pincang, yang jelas pincangnya; 4) Dan hewan yang kurus, yang tidak memiliki sumsum tulang”.
Lalu mereka berkata kepada Al-Baro’: “Sesungguhnya kami tidak suka (berqurban dengan hewan yang) ada cacat pada gigi, telinga, dan ekor”.
Dia berkata: “Benci-lah yang kamu kehendaki, namun kamu jangan mengharamkan kepada manusia!”.([1])
KETERANGAN:
Di dalam riwayat lain dengan lafazh:
وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي
(hewan yang patah kakinya, yang tidak memiliki sumsum tulang)”.([2])
Atau dengan lafazh:
وَالْكَبِيرَةُ الَّتِي لاَ تُنْقِي
“(hewan yang tua, yang tidak memiliki sumsum tulang)”.([3])
Sebagai ganti kalimat:
وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي
(hewan yang kurus, yang tidak memiliki sumsum tulang).
Namun ada permasalahan di dalam lafazh tersebut:
1) Lafazh Al-Kasiiroh (Al-Kasiir) dan Al-Kabiiroh hanya diriwayatkan oleh Syu’bah, dari Sulaiman bin Abdurrahman. Sedangkan semua murid Sulaiman yang lain, meriwayatkan dengan lafazh Al-‘Ajfa’.
2) Al-Kasiiroh artinya hewan yang patah kakinya, makna ini sudah masuk di dalam lafazh Al-‘Arja’ (hewan yang pincang).
3) Kata Al-Kasiiroh dan Al-Kabiiroh sangat mirip, hanya beda satu huruf. Ada kemungkinan salah tulis atau salah baca dari sebagian perowi atau penulis naskah.
Dengan keterangan ini, riwayat yang mahfuzh (terjaga; kuat) adalah lafazh Al-‘Arja’ (hewan yang pincang). Wallohu a’lam.
FAWAID HADITS:
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits ini, antara lain:
1- Rasulullah ﷺ telah menjelaskan syari’at Islam dengan penjelasan yang terang.
2- Menggunakan isyarat tangan atau lainnya sebagai sarana penjelasan.
3- Sahabat meniru Rasulullah ﷺ di dalam menjelaskan syari’at Islam.
4- Ibadah diterima oleh Alloh dengan syarat ikhlas dan mengikuti Sunnah Nabi. Karena ibadah memiliki syarat, rukun, atau ketentuan, yang harus diikuti. Tidak cukup hanya dengan ikhlas.
5- Urgensi ilmu agama di dalam beribadah kepada Alloh ﷻ.
6- Mengagungkan Alloh ﷻ dengan berqurban hewan yang sempurna keadaannya.
7- Hewan yang buta sebelah, yang jelas sekali kebutaannya, tidak sah untuk qurban. Apalagi yang buta dua matanya.
8- Hewan yang sakit, yang jelas sakitnya, tidak sah untuk qurban.
9- Hewan yang pincang, yang jelas pincangnya, tidak sah untuk qurban. Apalagi yang patah kakinya.
10- Hewan yang kurus, yang tidak memiliki sumsum tulang, tidak sah untuk qurban.
11- Hewan yang cacat pada gigi, telinga, dan ekor, atau lainnya, sah untuk qurban.
12- Beribadah harus dengan dalil yang benar, bukan hanya dengan akal dan perasaan.
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits-hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju sorga-Nya yang penuh kebaikan.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Kamis, Dhuha, 17-Dzulqo’dah-1443 H / 16-Juni-2022
______________
Footnote:
([1]) HR. Ibnu Hibban, no. 5919, 5921, dan ini lafazhnya; Tirmidzi, no. 1497; Ahmad, no. 18675; Nasai, no. 4371; Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani.
([2]) HR. Nasai, no. 4369, 4370; Ibnu Majah, no. 3144; Ibnu Khuzaimah, no. 2912; Abu Dawud, no. 2802; Ahmad, no. 18510, 18542, 18543, 18667; Ibnu Hibban, no. 5922
([3]) HR. Al-Hakim, no. 1718; Ad-Darimi, no. 1971; Ad-Daulabi, no. 1197