DZIKIR KEPADA ALLAH
Dzikir kepada Allah adalah ibadah besar yang memenuhi hajat manusia yaitu ketenangan dan kedamaian. Setiap orang pasti membutuhkan ketenangaan ini, dan ini tidak bisa dicapai dengan aktifitas olah raga, dagang, bekerja keras, pesta, apalagi permainan dan kesia-siaan.
Ketenangan hanya diperoleh saat manusia menggunakan batinnya, qalbunya untuk mendapatkan jaminan-jaminan dalam hidupnya, lebih-lebih dalam menghadapi kesulitan, jaminan-jaminan untuk mendapat aman, baik, masa depan yang cerah, ampunan dari kekurangan dan dosa-dosanya. Jaminan-jaminan ini tidak ada yang hakiki dan abadi selain dari Allah yang Maha mendengar, Maha menolong dan Maha perkasa. Untuk mendapatkan jaminan-jaminan itu dari Allah maka harus berkomunikasi dengan-Nya, melalui dzikir.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan tenang hati mereka dengan dzikir kepada Allah, ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang.” (QS. Al-Qa’d: 28)
Dzikir kepada Allah di sini meliputi, membaca dan meresapi bacaan al-Qur`an, shalat dengan khusyu`, wirid, dan doa. Lebih-lebih yang mengingat Allah dengan hati dan dibarengi dengan lisannya mengulang-ulang pujian dan pengagungannya kepada Allah.
Berikut ini perkataan para salafus sholih tentang dzikir kepada Allah .
1⃣ Sahabat Muadz ibn Jabal -Radhiyallaahu ‘anhu-.
Muadz berkata: “Tidaklah seorang manusia melakukan amalan yang lebih menjanjikan selamat baginya dari adzab Allah daripada dzikir kepada Allah.” Mereka bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, tidak juga jihad di jalan Allah?” Dia menjawab: “Tidak juga jihad di jalan Allah, sebab Allah berfirman dalam al-Qur`an:
((وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ))
“Dan dzikir kepada Allah itu lebih besar” (QS. Al-Ankabut: 45). (HR. Ahmad dalam al-Zuhd, 229)
Ini adalah makna pertama dari ayat ini, yaitu dzikir kita kepada Allah itu lebih besar pengaruhnya daripada shalat dalam hal mencegah manusia dari kekejian dan kemunkaran. Sebab dzikir kepada Allah itu inti shalat dan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Berbeda dengan shalat yang hanya di waktu dan tempat serta dengan syarat-syarat tertentu. Maka ini anjuran untuk terus berdzikir kepada Allah meskipun di luar shalat, sepanjang hayat, supaya baik dan selamat.
Yang memaknai seperti ini selain Muadz adalah Ummu Darda` dan Qatadah. Ummu Darda` berkata: “Jika kamu shalat maka itu dzikir kepada Allah, jika kamu puasa maka itu dzikir kepada Allah, setiap kebaikan yang kamu lakukan adalah dzikir kepada Allah, dan setiap keburukan yang kamu jauhi maka itu termasuk dzikir kepada Allah, dan yang paaling afdhal dari semua itu adalah tasbih.”
Sementara Qatadah berkata: “Tidak ada yang lebih besar daripada dzikir kepada Allah.”
Salman al-Farisi juga berkata kepada seseorang yang bertanya kepadanya: “Amal apa yang paling utama?” Maka dia menjawab: “Dzikir kepada Allah.” (semua ini diriwayatkan oleh al-Thabari dalam Tafsirnya, 20/45)
Makna kedua: Penyebutan Allah kepadamu lebih besar lagi dari pada dzikirmu kepada-Nya. Ini juga menganjurkan untuk selalu berdzikir kepada Allah sebab kalau kita ingat Allah maka Allah lebih ingat lagi kepada kita. Jadi supaya diingat dan ditolong Allah maka kita harus selalu ingat kepada-Nya.
Ibnu Abbas berkata: “Ada dua wajah bagi ayat ini: dzikir kepada Allah itu lebih besar dari selainnya, dan dzikir Allah (penyebutan Allah) kepada kalian lebih besar lagi dari pada dzikir kalian kepada-Nya. (Tafsir al-Thabari)
Dua makna ini sangat kuat.
Yang mengatakan dengan makna kedua ini adalah Ibnu Umar, dan al-Thabari condong menggunggulkan yang ini sebagai makna yang paling nampak di lapisan atas.
Makna ketiga: Dzikir kepada Allah itu lebih besar dari pada shalat. Ini ucapan Abu Malik.
Makna keempat: Dzikirmu kepada Allah itu lebih besar daripada apa yang dicegah oleh shalat dari kekejian dan kemungkaran. Ini ucapan ibnu Aun. Dia berkata: “Kondisimu sekarang saat dzikir ini lebih baik daripada apa yang akan dicegah oleh shalat dari kekejian dan kemungkaran.” (tafsir ibnu Jarir al-Thabari)
2⃣ Abdullah bin Rawahah -Radhiyallaahu ‘Anhu-.
Abdullah bin Rawahah -Radhiyallaahu ‘Anhu- berkata kepada sahabatnya: “Kemarilah, mari kita beriman sesaat.” Maka sahabatnya itu bertanya heran: “Bukankah kita ini orang mukmin?” Dia menjawab, “Ya, betul, akan tetapi kita berdzikir kepada Allah hingga iman kita bertambah.” (al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 1/50)
3⃣ Anas bin Maik -Radhiyallaahu ‘Anhu-.
Anas bin Malik -Radhiyallaahu ‘Anhu- berkata: saya bersama Abu Musa al-Asy’ari -Radhiyallaahu ‘Anhu- dalam satu perjalanan, lalu dia mendengar percakapan manusia. Maka dia berkata, “Apa urusanku, wahai Anas (dengan percakapan mereka)?” Mari kita berdzikir kepada Tuhan kita, karena mereka itu hampir saja salah seorang mereka memotong kulit dengan lisan mereka. Kemudian dia berkata: “Wahai Anas, alangkah lambatnya manusia dari (amalan) akhirat.” (Abu Nuaim, al-Hilyah, 1/259).
4⃣ Salman al-Farisi -Radhiyallaahu ‘Anhu-
Salman berkata: “Seandainya seseorang bermalam diberi (secara halal), seorang artis yang putih (cantik) dan yang lain bermalam berdzikir kepada Allah, saya melihat orang yang berdzikir lebih utama.” (al-Mushannaf, 7/170).
Demikianlah pandangan sebagaian murid-murid Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wasallama- terhadap keagungan dzikir kepada Allah. Mereka adalah murid-murid yang shalih, mengikuti ajaran gurunya yang agung, Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wasallama- yang pernah berwasiat kepada Abdullah bin Busr -Radhiyallaahu ‘Anhu-:
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Usahakan lidahmu selalu basah karena dzikir kepada Allah.”
Oleh : KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag. dinukil dari Kitab Min Akhbaaris Salaf
Sumber : Majalah Al Umm Edisi 1 Volume 3
Untuk mendapatkan Majalah Al Umm, silahkan menghubungi bagian pemasaran di nomor : ☎ +62 812-3133-8889