Bertawassul Kepada Allah Dengan Mayit-Mayit
Sebagian kaum wanita -mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka-, bertawassul kepada Allah dengan selain yang telah disyariatkan oleh Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Lalu dia berdo’a kepada orang-orang yang telah meninggal seraya berkata, ‘Ya Sayyidi Fulan’ atau ‘Nabi Allah’ atau ‘Ya Rasulallah’, ‘Ya Sayyidah Zainab’, atau ‘Aku memohon kepadamu dengan kedudukan Nabi demikian’, atau mereka pergi menuju kuburan seorang wali atau Nabi, kemudian bertawassul dengannya kepada Allah. Lalu mereka berkata, ‘Mintalah kepada Allah untukku agar memberikanku petunjuk’. Atau berkata, ‘Beristighfarlah untukku’ dan perkara-perkara lain yang sedikitpun bukan termasuk bagian dari agama ini.
Sungguh, Allah telah memerintah agar kita mencari wasilah kepada-Nya, seraya Dia subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللهَ وَٱبتَغُوٓاْ إِلَيهِ ٱلوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُم تُفلِحُونَ (٣٥)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah (5): 35)
Dan makna ibtaghuu ilahi al-wasiilah, adalah carilah jalan mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal yang diridhai-Nya.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدعُونَ يَبتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلوَسِيلَةَ أَيُّهُم أَقرَبُ وَيَرجُونَ رَحمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحذُورًا (٥٧)
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka([1]) siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. al-Israa` (17): (57)
Makna yabtaghuu ilaa rabbihim al-wasiilah, adalah mereka mencari jalan-jalan yang dengannya mereka bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah; berupa amal-amal shalih.
Al-Albaniy rahimahullah berkata, ‘Jika kita ingin bertaqarrub kepada Allah dengan amal-amal shalih, maka sesungguhnya Allah tidak membiarkan pembatasannya bagi akal-akal dan perasaan-perasaan kita. Dikarenakan ia saat itu akan menjadi berselisih, berbeda, dan akan goncang (tidak stabil). Oleh karena itulah, yang menjadi kewajiban kita, agar kita mengetahui wasilah-wasilah yang diyariatkan, adalah dengan kita kembali kepada apa yang telah Allah subhaanahuu wa ta’aalaa syariatkan, dan kepada syari’at yang dijelaskan oleh Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam; yaitu al-Kitab dan as-Sunnah. Dan inilah yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Malik rahimahullah telah meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ»
“Telah kutinggalkan di tengah kalian dua perkara; selagi kalian berpegang teguh dengan keduanya, kalian tidak akan tersesat; kitabullah, dan sunnah Rasul-Nya.”([2])
Maka inilah saatnya untuk menjelaskan tawassul yang disyari’atkan.
Macam-macam tawassul yang disyari’atkan;
Pertama, bertawassul kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik (Asmaa`ul Husna) dan dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi.
Dalilnya adalah firman-Nya subhaanahuu wa ta’aalaa,
وَلِلهِ ٱلأَسمَآءُ ٱلحُسنَىٰ فَادعُوهُ بِهَاۖ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. al-A’raaf (7): 180)
Maksudnya adalah berdo’alah kalian kepada Allah dengan bertawassul kepadanya dengan nama-nama-Nya yang baik, dan tidak ada keraguan bahwa sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi termasuk di dalam pesan ini.
Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Buraidah bin Hushaib radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلًا يَدْعُو وَهُوَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ، الْأَحَدُ الصَّمَدُ ، الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ، قَالَ: فَقَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِاسْمِهِ الْأَعْظَمِ ، الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ ، وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berdo’a, seraya dia berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan (perantaraan) bahwasannya aku bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, Dzat Yang Maha Esa, Dzat tempat bergantung (bagi seluruh makhluk), Dzat Yang tidak beranak dan diperanakkan, Dzat yang tidak ada tandingan bagi-Nya seorangpun.’ Dia berkata, Maka beliau bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, sungguh dia telah memohon kepada Allah, dengan nama-Nya yang Maha Agung, yang jika Dia dimohon dengannya, Dia akan mengabulkan, dan jika Dia diminta dengannya, Dia akan memberi.”([3])
Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ كَثُرَ هَمُّهُ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي، إِلَّا أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَحًا»
“Barangsiapa yang banyak kegundahannya, maka hendaknya dia mengucapkan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu, putra hamba perempuanmu, ubun-ubunku ada pada tangan-Mu, telah berlalu padaku segala hukum-Mu, adil segala keputusan-Mu padaku, aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama yang itu adalah milik-Mu, yang dengannya Engkau menamai Dzat-Mu, atau nama yang telah Engkau ajarkan kepada seseorang dari kalangan makhluk-Mu, atau yang telah Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau rahasiakan di dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Qur`an yang agung adalah pelipur hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihan dan kegundahanku’, melainkan Allah akan hilangkan darinya kegundahan dan kesedihannya, serta mengganti tempatnya dengan kebahagiaan.”([4])
Demikian juga at-Tirmdizi, dia meriwayatkan dari hadits Anas radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca,
«يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ»
“Wahai Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat Yang Maha Mengurusi seluruh makhluk, dengan rahmat-Mu, aku memohon pertolongan.”([5])
Demikian juga dibolehkan seandainya ada seseorang yang berkata,
اَللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الْحُسْنَي وَصِفَاتِكَ الْعُلْيَى
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan nama-nama-Mu yang baik, dan sifat-sifat-Mu yang Maha Tinggi.”
Kedua, bertawassul kepada Allah dengan keimanan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Dalilnya adalah firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ إِنَّنَآ ءَامَنَّا فَاغفِر لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imraan (3): 16)
Dan firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلتَ وَٱتَّبَعنَا ٱلرَّسُولَ فَاكتُبنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ
“Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah Kami ikuti rasul, karena itu masukanlah Kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imraan (3): 53)
Demikian juga boleh seandainya ada seseorang yang berkata,
اللهم إِنِّيْ آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ فَاغْفِرْ لِيْ أَوْ وَفِّقْنِيْ
“Ya Allah, sesungguhnya telah beriman dengan-Mu, dan dengan Rasul-mu, maka ampunilah aku’ atau ‘Berikanlah taufiq kepadaku’.
Pertanyaan: Apakah boleh bagi seseorang bertawassul dengan jah (kedudukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Fadhilatussyaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, sebagaimana disebutkan di dalam al-Manaahiy al-Lafzhiyah hal 36, dimana beliau rahimahullah menjawab, ‘Bertawassul dengan jah (kedudukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dibolehkan menurut pendapat yang rajih (unggul) dari pendapat para ulama. Maka bertawassul dengan jah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah diharamkan.
Maka tidak boleh bagi seseorang berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan jah (kedudukan) Nabi-Mu, demikian dan demikian.’
Yang demikian itu dikarenakan wasilah tidak akan menjadi wasilah kecuali jika ia memiliki pengaruh bagi terealisasinya tujuan. Dan jah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berkaitan dengan orang yang berdo’a, tidaklah memiliki pengaruh apapun dalam meraih tujuannya. Jika tidak memiliki pengaruh baginya, maka ia tidak akan pernah menjadi sebab yang benar, yang bisa berpengaruh kepada teraihnya permohonannya.
Jah (kedudukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah khusus untuk beliau semata, dan ia termasuk diantara keutamaan-keutamaan bagi beliau semata.
Adapun kita, maka kita tidak bisa mengambil manfaat dengannya, namun kita bisa mengambil manfaat dengan keimanan kita kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kecintaan kita kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan betapa mudahnya bagi orang yang hendak berdo’a saat dia berkata,
اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِإِيْمَانِيْ بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ كَذَا وَكَذَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan keimananku kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu, demikian-dan demikian…’
Daripada dia berkata, ‘Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan jah (kedudukan) Nabi-Mu…
Dan termasuk bagian dari nikmat Allah ‘azza wa jalla dan rahmat-Nya kepada kita, bahwa Dia tidak pernah menutup satu pintupun dari pintu-pintu yang membahayakan melainkan di hadapan manusia tersebut terdapat banyak pintu dari pintu-pintu yang mubah. Walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. Selesai.
Ketiga, bertawassul dengan amal shalih.
Dan dalilnya adalah kisah tiga orang yang masuk goa, kemudian ada sebuah batu besar yang menutupi pintu goa mereka. Lalu masing-masing dari mereka berdo’a dengan bertawassul dengan amal shalih mereka, lalu Allah pun memberikan kepada mereka jalan keluar, menghilangkan kecemasan mereka, lalu merekapun keluar dari goa tersebut.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari, di dalamnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَمْشُونَ، أَخَذَهُمُ المَطَرُ، فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ، فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الجَبَلِ، فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالًا عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ، فَادْعُوا اللهَ بِهَا لَعَلَّهُ يُفَرِّجُهَا عَنْكُمْ،
“Disaat ada tiga orang tengah berjalan, hujanpun mengenai mereka. Lalu mereka berlindung kepada sebuah goa di suatu gunung. Kemudian ada sebongkah batu besar menggelinding dari gunung lalu menutupi mulut goa mereka. Lalu berkatalah sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain, ‘Lihatlah kepada amal-amal shalih yang pernah kalian lakukan karena Allah, berdo’alah kepada Allah dengannya, mudah-mudahan Allah membuka lebar-lebar batu tersebut dari kalian.”
قَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ، وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ، كُنْتُ أَرْعَى عَلَيْهِمْ، فَإِذَا رُحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ، فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ أَسْقِيهِمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَإِنِّي اسْتَأْخَرْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ، فَوَجَدْتُهُمَا نَامَا، فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ، فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا، وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ حَتَّى طَلَعَ الفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ لَنَا فَرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ، فَفَرَجَ اللهُ، فَرَأَوُا السَّمَاءَ،
“Berkatalah salah seorang dari mereka, ‘Ya Allah, sesungguhnya saya dulu memiliki dua orang tua yang telah lanjut usia. Dan saya memiliki anak-anak yang masih kecil. Dan dulu kebiasaanku adalah menggembala untuk mereka. Jika aku pulang di waktu sore, akupun memerah susu. Kemudian kumulai dengan memberi minum kedua orangtuaku sebelum anak-anakku. Dan sesungguhnya aku, suatu hari, terlambat pulang, aku belum datang hingga di waktu sore. Kemudian aku mendapati kedua orangtuaku telah tertidur. Kemudian akupun memerah susu, lalu berdiri di sisi kepala keduanya, aku tidak suka untuk membangunkan keduanya, dan aku tidak suka memberi minum anak-anak (sebelum keduanya). Sementara anak-anak tersebut merengek-rengek di kedua kakiku hingga fajar terbit. Maka jika Engkau mengetahui bahwa aku telah melakukannya karena berharap wajah-Mu, maka bukankanlah untuk kami satu jalan keluar hingga darinya kami bisa melihat langit.’ Maka Allah pun membukakan untuk mereka, kemudian mereka bisa melihat langit.
وَقَالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهَا كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ، فَطَلَبْتُ مِنْهَا، فَأَبَتْ عَلَيَّ حَتَّى أَتَيْتُهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ، فَبَغَيْتُ حَتَّى جَمَعْتُهَا، فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ، وَلاَ تَفْتَحِ الخَاتَمَ إِلَّا بِحَقِّهِ، فَقُمْتُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا فَرْجَةً، فَفَرَجَ،
“Yang lain berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya saya memiliki saudari sepupu, putri pamanku, aku mencintainya seperti sangat cintanya kaum laki-laki kepada kaum wanita. Maka akupun memintanya, dan diapun menolakku, hingga aku datang kepadanya dengan membawa seratus dinar. Lalu akupun melakukan perbuatan melampaui batas hinnga aku (hampir) mensetubuhinya. Maka tatkala aku telah berada diantara kedua kakinya, dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah, dan janganlah Engkau membuka cincin kecuali dengan haknya.’ Maka akupun beridri. Maka jika Engkau mengetahui bahwa aku telah melakukannya karena mencari wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah jalan keluar.’ Maka Allah pun membukakan (celah jalan keluar).
وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ، فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ، قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي، فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ، فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرَاعِيَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ، فَقُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى ذَلِكَ البَقَرِ وَرُعَاتِهَا، فَخُذْ، فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي، فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، فَخُذْ، فَأَخَذَهُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ مَا بَقِيَ، فَفَرَجَ اللهُ
“Dan yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya dulu aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah segantang([6]) padi. Maka tatkala dia telah menunaikan pekerjaannya dia berkata, ‘Berikan kepadaku hakku.’ Lalu aku perlihatkan kepadanya (haknya), kemudian dia tidak menyukainya (lalu meninggalkan apa yang menjadi haknya tersebut, lantas pergi). Lalu akupun terus menanamnya (biji-biji padi tersebut) hingga darinya aku bisa mengumpulkan sapi dan para penggembalanya (dari kalangan budak). Kemudian diapun mendatangiku seraya berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah.’ Maka aku berkata, ‘Pergilah kepada sapi itu dan para penggembalanya, lalu ambillah. Lantas dia berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, dan janganlah Engkau mengolok-olok aku.” Lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya aku tidaklah mengolok-olokmu, maka ambillah.’ Kemudian diapun mengambilnya. Maka jika Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya aku telah melakukan yang demikian karena mencari wajah-Mu, maka bukakanlah apa yang tersisa. Kemudian Allah pun membukakan lebar-lebar (pintu goa mereka).”([7])
Keempat, bertawassul kepada Allah ‘azza wa jalla dengan do’a orang-orang shalih.
Al-Albaniy rahimahullah berkata, ‘Seperti seorang muslim yang sedang berada dalam suatu kesempitan yang sangat, atau terkena suatu musibah besar, dan dia mengetahui dirinya banyak keteledorannya terhadap hak-hak Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, lalu dia suka mengambil suatu sebab kuat kepada Allah. Kemudian dia pergi kepada seorang laki-laki yang dia berkeyakinan ada keshalihan, ketakwaan, keutamaan, serta ilmu dengan al-Kitab dan sunnah pada dirinya, lalu meminta darinya agar berdo’a untuknya kepada Rabb-nya, untuk memberikan jalan keluar bagi kedukaannya, dan menghilangkan darinya kegundahannya, maka ini adalah bentuk lain dari tawassul yang disyariatkan. Dimana syari’at yang suci ini telah menunjukkan dan mengarahkannya.
Al-Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا»، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ
“Adalah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, jika mereka terkena paceklik, maka diapun memohon hujan (kepada Allah) dengan (melalui do’a) al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththallib, seraya dia berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan do’a Nabi kami, lalu Engkau memberikan hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan kepada kami.” Dia berkata, ‘Maka merekapun diberi hujan.”([8])
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
([1]) Maksudnya: Nabi Isa S, Para Malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah. (Terj. DEPAG RI)
([2]) HR. Malik, al-Muwaththa`, cet. ar-Risalah (1874), dihasankan oleh Al-Albaniy dalam al-Misykah (186)-pent
([3]) HR. Ahmad (23015), at-Tirmidzi (3475), Abu Dawud (1493), Ibnu Majah (3857), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (32/318)-pent
([4]) HR. Ahmad (3712), Ibnu Abi Syaibah (29318), Abu Ya’la (5297), at-Thabrani, al-Kabiir (10352), as-Shahiihah (199), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1822), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (33/144)-pent
([5]) HR. at-Tirmidzi (3524), Ibnu as-Sunniy (337), Shahiih al-Jaami; (4777), as-Shahiihah (3182), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (33/153)-pent
([6]) Faraq adalah wadah (gantang) yang cukup untuk tiga sha`, satu sha` adalah empat mud, dan satu mud adalah satu cakupan dua tapak tangan. lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (4/325)-pent
([7]) HR. Al-Bukhari (2333)-pent
([8]) HR. Al-Bukhari (1010)-pent