23. Berdo’a Untuk Si Mayit Sambil Menghadap Kuburan
Ini menyelisihi syar’iy, dimana disaat berdo’a, menghadapnya adalah kearah qiblat karena larangan Nabi ﷺ terhadap shalat yang menghadap ke arah kubur.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Martsad al-Ghanawiy dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
«لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ، وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا»
“Janganlah kalian shalat menghadap ke arah kuburan, dan janganlah kalian duduk diatasnya.”([1])
Dan do’a adalah asas shalat dan inti ibadah sebagaimana telah diketahui, maka do’a memiliki hukum shalat.
Al-Munawiy rahimahullah berkata di dalam Faidhul ‘Aziz, ‘Maka, jika do’a adalah termasuk bagian dari seagung-agungnya ibadah, maka mengapa menghadapnya bukan kepada arah yang diperintahkan di dalam shalat?’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam Iqtidhaau as-Shiraath al-Mustaqiim, ‘Tidak disunnahkan bagi orang yang berdo’a untuk menghadapkan wajahnya kecuali ke arah yang dia dianjurkan untuk menghadap kepadanya (yaitu ke arah qiblat-pent). Dan ada diantara golongan manusia ada yang disaat dia berdo’a dia berupaya mencari-cari arah yang disana terdapat seorang shalih. Sama saja arahnya di timur atau selainnya. Maka ini adalah sebuah kesesatan diantara keburukan yang jelas. Sebagaimana sebagian manusia menolak untuk membelakangi arah yang padanya terdapat sebagian orang shalih, sementara dia rela membelakangi arah yang padanya terdapat rumah Allah.”([2])
Dan di dalam madzhab Imam Ahmad dan para pengikut madzhab Imam Malik disebutkan, ‘Sesungguhnya yang disyariatkan adalah berdo’a menghadap ke arah kiblat sekalipun di sisi kuburan Nabi ﷺ setelah mengucapkan salam kepada beliau.’ Demikian juga di dalam madzhab Abu Hanifah.
Syaikhul Islam berkata di dalam al-Qa’idah al-Jalillah fii at-Tawassul wa al-Wasilah, ‘Madzhab para imam empat madzhab; Malik, Abu Hanifah, as-Syafi’iy, Ahmad dan para imam Islam selain mereka adalah bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ (di kubur beliau) dan ingin berdo’a untuk dirinya sendiri, maka dia menghadap kiblat.”([3])
Dan demikian juga madzhab as-Syafi’iyyah, Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata di dalam al-Majmu’, “Imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuuq az-Za’faraniy, salah seorang diantara para fuqaha` muhaqqiq (ahli fiqih yang ahli meneliti hukum), ‘(Seorang yang berziarah kubur) tidak mengusap kubur dengan tangannya, tidak juga menciumnya. Dan di atas hal inilah sunnah itu berjalan. Sementara mengusap kuburan dan menciumnya, yang dilakukan oleh orang-orang awam sekarang, adalah termasuk bid’ah-bid’ah munkar secara syar’iy. Hendaknya menjauhi perbuatan itu, dan hendaknya pelakunya dilarang darinya.” Dia berkata, ‘Maka barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada si mayit, maka dia mengucapkan salam kepadanya dari arah wajahnya([4]), dan jika dia ingin berdo’a, maka dia berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat.([5])
Sebagai pelengkap faidah,
Terdapat sebuah pertanyaan yang kadang berputar di benak sebagian orang, yaitu apakah boleh mengangkat kedua tangan saat berdo’a untuk penghuni kubur?
Jawabnya adalah, iya, dan dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata, ‘Suatu malam, Rasulullah ﷺ keluar. Maka aku mengutus Barirah untuk mengikuti jejak beliau, agar dia melihat kemana beliau pergi.’ Dia berkata, ‘Maka beliaupun berjalan ke arah Baqi’ al-Gharqad, lalu beliau berhenti di dekat Baqi’ kemudian beliau mengangkat kedua tangan beliau, lalu pergi. Kemudian Barirah pulang, dan memberitahuku. Maka tatkala di pagi hari, saya bertanya kepada beliau, lalu saya katakan, ‘Ya Rasulullah, tadi malam Anda keluar kemana?’ maka beliau bersabda,
بُعِثْتُ إِلَى أَهْلِ الْبَقِيعِ لِأُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ
“Aku diutus ke penghuni al-Baqi’ untuk berdo’a bagi mereka.”([6])
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([2]) Iqtidhaa` as-Shiraath al-Mustaqiim li Mukhalafati Ashhaabi al-Jahiim, Ibnu Taimiyah, II/241-pent
([3]) Qaa’idah Jaliilah fi at-Tawassul wa al-Wasiilah, Ibnu Taimiyah, 318-pent
([4]) Dengan datang dari arah kiblat, yang wajah si mayit di dalam kubur menghadap kepadanya.-pent
([5]) Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam an-Nawawiy V, V/311-pent
([6]) HR. Ahmad (24656), lihat Shahiihul Jaami’ (2828), as-Shahiihah (1774), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (16/478)-pent