4. Menjaga Shalat Berjama’ah
Allah ﷻ berfirman,
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. al-Baqarah (2): 43)
Ibnu Katsir rahimahullaah berkata dalam Tafsirnya, ‘Allah memerintahkan kepada mereka untuk ruku’ bersama dengan orang-orang yang ruku’ dari umat Muhammad ﷺ. Dia berfirman, ‘Jadilah kalian bersama mereka dan termasuk golongan mereka.” Dan dia berkata, ‘Banyak di antara para ulama yang mewajibkan shalat berjama’ah dan berdalil dengan ayat ini.”
Dari Abu ad-Darda` radhiyallaahu ‘anhu dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ، وَلَا بَدْوٍ، لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ، إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ»
“Tidak ada tiga orang di dalam sebuah kampung, tidak juga di padang pasir, yang tidak ditegakkan di dalamnya shalat, kecuali setan menguasai([1]) mereka. Maka wajib atas kalian berjama’ah, karena serigala itu akan memakan (hewan ternak) yang sendirian([2]).”([3])
Dan dalam sebuah hadits,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ، أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ العِشَاءَ»
“Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan membakar kayu bakar, kemudian aku perintahkan shalat hingga diadzankan untuknya, kemudian aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami manusia, lalu aku akan berbalik menuju kaum laki-laki (yang tidak mengikuti shalat berjama’ah), kemudian aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka mengetahui bahwa mereka akan mendapatkan ‘arqan([4]), yang gemuk, atau marmataini([5]) yang baik, maka pastilah mereka menyaksikan (mengikuti shalat berjama’ah) isyak.” ([6])
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً»
“Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat (keutamaan).” ([7])
Al-A’masy rahimahullaah berkata, ‘Aku mendengar Salim berkata, ‘Aku mendengar Ummu ad-Darda` berkata, ‘Abu Darda` masuk menemuiku sedang dia dalam keadaan marah. Maka aku berkata kepadanya, ‘Apa yang membuatmu marah?” Dia menjawab,
«وَاللهِ مَا أَعْرِفُ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا»
‘Demi Allah, tidaklah aku mengenal umat Muhammad ﷺ sedikitpun kecuali bahwasannya mereka shalat berjama’ah.” ([8])
Al-Hafizh rahimahullaah berkata dalam Fathul Baariy, ‘Dan maksud Abu ad-Darda` radhiyallaahu ‘anhu, bahwasannya perbuatan yang disebutkan yaitu terjadinya pengurangan dan perubahan dalam segalanya, kecuali jama’ah dalam shalat. Itu adalah perkara yang relatif, karena keadaan manusia pada zaman kenabian lebih sempurna dari apa yang berjalan sesudahnya. Kemudian keadaan pada zaman Imam al-Bukhari rahimahullaah dan Muslim lebih sempurna dari zaman sesudahnya. Hal itu berasal dari Abu ad-Darda` radhiyallaahu ‘anhu di akhir-akhir umurnya, dan pada akhir pemerintahan Khalifah ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu. Maka jika keadaan tersebut beserta sifatnya terjadi pada masa yang utama dan pada masa Abu ad-Darda` radhiyallaahu ‘anhu, bagaimana dengan orang yang datang sesudah mereka dari tingkatan-tingkatan zaman hingga zaman ini?!”
Aku berkata, ‘Maka kerugianlah atas kita. Jika al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata demikian di masanya, maka apa yang akan kita katakan sementara kita berada dalam zaman keterasingan, dimana manusia sudah meremehkan shalat jum’at, jama’ah, dan shalat-shalat (lima waktu)?!’
Maka bersemangatlah, wahai saudaraku muslim, untuk shalat berjama’ah. Jangan lupakan sabda beliau ﷺ,
«…. فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ»
“Maka sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan (hewan ternak) yang sendirian.”
Karena syetan mengawasi jauhnya Anda dari jama’ah, agar Anda sengsara dengan meninggalkannya. Bahkan agar Anda meninggalkan shalat dan Islam.
Masjid adalah sarana untuk saling mengenal di antara orang-orang yang saling mencintai karena Allah, untuk memperkokoh bukti kecintaan di antara mereka, juga untuk memudahkan iman. Tidak ada jalan menuju keimanan dan tidak juga menuju Sorga kecuali dengan saling mencintai karena Allah ﷻ. Dengarkanlah –jika Anda menghendaki- sabda beliau ﷺ,
«وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ»
“Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, kalian tidak akan masuk Sorga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai? Yaitu, sebarkanlah salam di antara kalian.” ([9])
(bersambung)
(Dialih bahasakan oleh Muhammad Syahri dari kitab as-Shalaat Wa Atsaruhaa Fi Ziyaadatil Iimaan Wa Tahdziibin Nafsi, Syaikh Husain al-‘Awayisyah)
_____________________
Footnote:
([1]) Menguasai mereka dan dihimpun menuju dirinya, an-Nihayah.
([2]) Yang menjauh dan lari dari gerombolan hewan ternak.
([3]) HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud dan selain keduanya. Dan hadits dari Shahiih al-Jaami’ (5577)
([4]) Di dalam Fathul Baariy, [عَرَقًا] dengan ‘ain yang difathah, ra’ yang disukun dan setelahnya adalah qaaf. Al-Khalil berkata, “[العراق] adalah tulang tanpa daging. Dan jika di atasnya terdapat daging, maka itu disebut [عرق]. Dalam al-Muhkam, dari al-Ashma’iy [العرق] –dengan ra’ yang disukun– adalah potongan daging. Al-Azhariy berkata, ‘[العرق] adalah bentuk tunggalnya. Artinya, tulang yang sebagian besar dagingnya telah diambil darinya, dan yang tertinggal di atasnya adalah daging yang tipis, keudian dipecah, dimasak, dan dimakan sedikit daging yang ada di atasnya, lalu tulangnya dijemur. Jika dikatakan, [عَرَقتُ اللحمَ واعترقتُهُ وتعَرَّقتُهُ] “Aku mengambil daging darinya dengan satu gigitan.” Dalam al-Muhkam, bentuk jama’ dari [العَرَق] adalah [عُرَاقٌ] dengan dhammah. Dan perkataan al-Ashma’ilah yang sesuai di sini.
([5]) Bentuk mutsanna dari [مرماة] al-Hafizh rahimahullaah berkata dalam Fathul Baariy, ‘Al-Khalil berkata, ‘Itu adalah apa yang ada di antara dua kuku kambing, dan berkata al-Akhfasiy, ‘[المرماة] adalah sebuah permainan yang mereka mainkan dengan mata pedang yang diasah, lalu dilemparkan ke tumpukan tanah. Maka mana di antara mereka yang menegakkannya di atas tumpukan tanah, dialah yang menang. Dan al-Harabi meriwayatkan dari al-Ashma’iy bahwa [المرماة] adalah panah sasaran.” Dan dalam an-Nihayah, ‘[المرماة] adalah kuku kambing, dan dikatakan, ‘Apa yang ada di antara kedua kukunya.”
([6]) HR. Al-Bukhari, Malik, an-Nasa’iy dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
([7]) Dari Shahiih al-Bukhari, Bab Keutamaan Shalat Berjama’ah
([8]) Dari Shahiih al-Bukhari, Bab Keutamaan Shalat Berjama’ah