Dari Abu Dzar al-Ghifari I Dia berkata, ‘Kami berpuasa bersama Rasulullah H pada bulan Ramadhan. Beliau tidak shalat malam bersama kami hingga tersisa tujuh hari. Waktu itu beliau shalat bersama kami hingga hilang sepertiga malam (pertama). Maka tatkala pada sisa hari yang ke enam beliau tidak shalat bersama kami. Maka tatkala pada sisa hari yang ke lima beliau shalat bersama kami hingga hilang separuh malam.
Maka Aku pun bertanya, “Wahai Rasulullah, seandainya Anda shalat sunnah bersama kami untuk mendirikan malam ini (semalam suntuk)!”
Maka beliau H bersabda:
«إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
‘Sesungguhnya seorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai maka dihitung baginya (pahala) shalat semalam suntuk.” ([1])
Perkara ini biasa diingatkan oleh banyak imam-imam masjid pada bulan Ramadhan. Anda akan melihat imam-imam itu memotivasi para jamaah agar melaksanakan shalat tarawih bersama imam sampai selesai, namun sebagian mereka melalaikan syiar ini, yang merupakan keistimewaan bulan Ramadhan dari bulan-bulan lain. Mengenai hal ini Nabi H telah bersabda,
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Siapa yang menegakkan (shalat malam pada) bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala, maka diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu.” ([2])
Demikian juga halnya dengan Lailatul Qadr. Mendirikan shalat pada malam itu keutamaannya seperti shalat seribu bulan, sebagaimana firman Allah E,
لَيلَةُ ٱلقَدرِ خَيرٞ مِّن أَلفِ شَهرٖ ٣
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3)
Akan tetapi aneh sungguh aneh terhadap orang yang menyia-nyiakan malam yang sangat agung ini.
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari Kitab A’maal Tsawaabuhaa Kaqiyaamillaiil, Dr. Muhammad Ibn Ibrahim an-Na’îm)
______________________________________________
Footnote:
([1]) HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani- (V/11), Abu Dawud dan ini adalah lafadz miliknya (1375), At-Tirmidzi (806), An-Nasai (1364), Ibnu Maajah (1327), dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (1615).
([2]) HR. al-Imam Ahmad –al-Fathu ar-Rabbani– (IX/220), Al-Bukhari (37), Muslim (759), At-Tirmidzi (808), An-Nasai (1602), dan Abu Dawud (1371).