Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى»
“Allah merahmati seseorang yang bermurah hati jika dia menjual dan jika dia membeli, dan jika dia menagih hak.” ([1])
Al-Hafizh Ibnu Hajar([2]) berkata:
“Sabda beliau [رَحِمَ اللهُ رَجُلًا] mengandung makna do’a dan mengandung makna berita. Ibnu Habib al-Malikiy dan Ibnu Baththal menetapkan dengan pendapat yang pertama, dan dirajihkan oleh ad-Daawudiy. Sementara pendapat yang kedua dikuatkan oleh hadits yang telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Zaid bin ‘Atha’ bin as-Saa-ib dari Ibn al-Munkadir tentang hadits ini dengan lafazh:
«غَفَرَ اللهُ لِرَجُلٍ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ سَهْلًا إِذَا بَاعَ»
“Allah mengampuni seorang lelaki yang ada sebelum kalian yang dia adalah orang yang mudah jika dia jual beli.” Al-Hadits.
Hal ini menginformasikan bahwa beliau memaksudkan lelaki itu sendiri di dalam hadits bab tersebut.
Al-Kirmaniy berkata, “Zhahirnya adalah pemberitaan, akan tetapi indikasi untuk masa mendatang yang diambil faidahnya dari kata “idza” menjadikannya sebagai do’a, yang takdirnya menjadi “Semoga Allah merahmati seseorang yang demikian…” Dan kadang keumuman diambil faidahnya dari pengikatannya dengan syarat.
Sabda beliau [سَمْحًا] dengan mensukun huruf miim dan dua huruf muhmal (yang tidak bertitik) bermakna sahlan, yaitu satu sifat musyabbahah (yang diserupakan) yang menunjukkan akan sifat tetap. Oleh karena itulah beliau mengulang-ulang keadaan jual, beli, dan menuntut hak. Dan kata as-samhu maknanya adalah jawwaad (murah hati, dermawan). Dikatakan samhun bi kadza jika dia dermawan. Dan yang dimaksud disini adalah musaahalah (bermurah hati).
Sabda beliau [وَإِذَا اِقْتَضَى] maksudnya dia meminta pelunasan haknya dengan mudah dan tanpa mendesak.
Dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Ibnu at-Tiin [وَإِذَا قَضَى] maksudnya memberikan apa yang menjadi kewajibannya dengan mudah tanpa menunda-nunda.
Pada riwayat milik at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu secara marfu’:
«إِنَّ اللهَ يُحِبُّ سَمْحَ الْبَيْعِ سَمْحَ الشِّرَاءِ سَمْحَ الْقَضَاءِ»
“Sesungguhnya Allah mencintak kemurahan hati dalam menjual, membeli dan menagih hak.”
Pada riwayat an-Nasa-iy dari hadits ‘Utsman, dan dia merafa’kannya:
«أَدْخَلَ اللهُ الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا مُشْتَرِيًا وَبَائِعًا وَقَاضِيًا وَمُقْتَضِيًا»
“Allah memasukkan ke dalam Sorga seseorang yang dulu dia adalah orang murah hati saat membeli, menjual, melunasi hak dan menagih hak.”
Pada riwayat milik Ahmad dari hadits ‘Abdulllah bin ‘Amr semisalnya, dan di dalamnya terdapat anjuran untuk bermurah hati dalam bermu’amalah, dan mempergunakan budi pekerti yang tinggi, serta meninggalkan sikap tamak, dan anjuran untuk meninggalkan tindakan membuat orang lain sempit dalam menuntut hak dan untuk memberikan maaf kepada mereka.”
Al-Munawi([3]) rahimahullah berkata:
[رَحِمَ اللهُ عَبْدًا] adalah do’a (semoga Allah merahmati seorang hamba) ataupun berita (Allah merahmati seorang hamba) dan indikasi masa yang akan datang yang diambil dari kata idzaa menjadikannya sebagai do’a.
[سَمْحًا] dengan menfathah (huruf siin) lalu mensukunkan (huruf miim) bermakna murah hati (dermawan), atau memberikan kemudahan tidak mempersulit dalam segala perkara. Dan ini adalah satu sifat musyabbahah yang menunjukkan akan ketetapan, dan karenanya beliau mengulang-ulang kondisi jual, beli, dan menagih hak. Dimana beliau bersabda [إَذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إِذَا قَضَى] bermurah hati jika menjual, murah hati jika membeli, dan murah hati jika melunasi, yaitu melunai apa yang menjadi tanggungannya dengan mudah.
[سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى] bermurah hati jika menagih, yaitu meminta pelunasan haknya. Hal ini digiring untuk memberikan dorongan agar bermurah hati dalam bermuamalah dan meninggalkan percekcokan dan penyempitan di dalam menuntut hak, serta dorongan untuk berbudi luhur.
Al-Qadhi berkata, “Do’a tersebut disusun sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa kemudahan, dan bermurah hati adalah satu sebab untuk mendapatkan hak do’a tersebut, dan menjadi orang yang berhak mendapatkan rahmat. Dan kalimat iqtidha’ dan taqadhiy adalah bermakna meminta pelunasan hak.
Ibnu al-‘Arabiy berkata, “Jika buruk pelunasan hak padahal sudah bagus cara memintanya, maka penundaannya terhadap pelunasan hak yang menjadi tanggungannya ini (padahal dia mampu) akan dihisab untuknya sebagai pengganti akan kesabarannya terhadap hartanya yang menjadi tanggungan selainnya.”
(30 Sababan Li Tunaala Rahmatullaahi Ta’aalaa, Abu Abdirrahman Sulthan ‘Aliy, alih bahasa Muhammad Syahri)
________________________________________
Footnote: